luhanay blog Follow Dash Owner

Selasa, 02 Januari 2018

[FF] Pink Heartsick Chapter 5



Tittle: Pink Heartsick
Genre: Drama, Marriage life, Romance || Rate: 15 || Length: Chapter
Cast: Koo Junhoe | Park Chaeyoung | Kim Jennie | Lisa | Bobby | other cast
Author: Cifcif Rakayzi
======= ==== ======= ==== =======




Chapter 5

Cantik. Itu yang semua orang katakan saat melihatnya. Hampir semua topik pembicaraan, tertuju padanya. Sang mempelai pengantin perempuan.
Dengan balutan gaun putih sederhana namun elegan, perempuan itu membuat mata yang memandangnya mengatakan cantik. Bak seorang putri kerajaan.
Dan juga, tidak hanya pengantinnya, pernikahan itu juga sukses membuat para tamu undangan terpesona dengan kemewahannya. Yah, mungkin karena ini adalah hari yang bahagia, jadi wajar jika mereka menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat baik.
Namun sayangnya, di balik kebahagian semua orang itu, masih ada bibir yang tidak tersenyum. Rasanya hambar. Hanya sesekali bibir itu tersenyum tipis, itupun jika keadaan sangat memaksa. Padahal seharusnya, dia lah yang tersenyum lebih lebar dari semuanya, karena dia adalah pengantinnya.
“Junhoe-sshi, apa kau masih belum makan?”
Laki-laki itu diam, tidak menjawab perempuan yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya. Dia hanya duduk memainkan ponselnya.
“Setidaknya makanlah walau sedikit.” Perempuan ini menarik nafas, yang dia ajak bicara masih tidak menjawabnya. “Aku akan mengambilkan makanan untukmu, tunggu sebentar,”
“Tidak perlu.”
Langkah perempuan itu tertahan saat Junhoe beranjak dari kursinya, berjalan melewatinya begitu saja. Dan dia, hanya bisa menatap punggung laki-laki itu diam. Seharian ini, Junhoe tidak bicara apapun padanya, bahkan juga tidak mendengarkan perkataannya. Mungkin ini sekarang adalah hari bahagia karena pernikahannya, tapi begitulah hubungan yang sebenarnya terjadi dengan mereka.
Sejak dia datang, Junhoe memang tidak banyak bicara padanya. Junhoe tidak pernah bicara jika tidak ditanya, dan jawabannya pun juga hanya kalimat singkat. Dan itu semakin buruk setelah tiba-tiba keluarga mereka memutuskan untuk menggelar pernikahan tanpa persetujuan dari mereka.
Perempuan berambut hitam panjang bernama Kim Jennie ini mengerti, kalau suaminya tidak benar-benar menyetujui pernikahan ini. Tapi, baik dia maupun Junhoe, mereka tidak bisa menolak keputusan keluarganya. Karena itu adalah peraturan.
---
“Junhoe-sshi,”
Koo Junhoe menoleh, melihat perempuan yang sudah berdiri di belakangnya. “Ada apa?” dan menjawab singkat, lalu kembali melepar tatapannya pada langit malam di atasnya.
“Boleh aku bicara denganmu?” Jennie melangkah perlahan, mendekati pagar balkon dan berdiri di samping Junhoe.
“Bicara saja. Lagipula, aku tidak punya hak untuk menolak.”
Keduanya diam. Jennie tidak langsung membuka bibirnya, dia merasa bersalah dengan jawaban Junhoe. Karena pasti, itu adalah salahnya.
“Kau mau bicara apa? Kenapa diam?”
“Aku minta maaf,”
“Untuk apa?”
“Aku benar-benar minta maaf padamu, karena aku membuatmu me-menikah denganku. Maaf karena aku tidak bisa menolak pernikahan ini. Maafkan ku...”
Suaranya bergetar. Junhoe melirik perempuan di sampingnya, dia menunduk menyembunyikan air matanya. Tangan Junhoe bergerak ingin mengucapnya, tapi dengan cepat dia kembali menarik tangannya, hanya diam.
“Maafkan aku...”
“Tidak usah minta maaf, karena aku juga tidak bisa melakukan apapun untuk itu. Jangan menangis.”
“Mungkin seharusnya aku tetap di New Zeland dan tidak mengunjungimu wa_”
“Ya! Hentikan!” Junhoe menarik perempuan itu ke hadapannya, menatapnya. “Aku bilang tidak apa-apa, berhenti menyalahkan dirimu. Sekarang pernikahannya sudah terjadi, kau tidak bisa menyesali itu.”
“Ta-tapi Junhoe-sshi, pernikahannya tidak akan terjadi jika aku tidak_”
“Sudah cukup, hentikan. Kita sudah menikah sekarang, tidak akan ada yang berubah walaupun kau menangis dan mengatakan maaf, ini sudah terjadi. Atau, kau ingin aku pergi?”
“Junhoe...” Jennie mengangkat wajahnya, memberanikan matanya menatap laki-laki itu. Air matanya tidak bisa di tahan, dan rasanya itu semakin banyak keluar. Kenapa ini rasanya menyakitkan.
“Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku akan pergi.” Junhoe melepaskan tangannya dari perempuan itu, berbalik dan melangkah.
“Tidak Junhoe, jangan pergi...” dengan cepat Jennie menarik tangan Junhoe, menahan laki-laki itu melanjutkan langkahnya. “Jangan pergi, aku mohon... maafkan aku.”
‘Kalau begitu berhenti mengatakan maaf padaku, aku tidak ingin mendengarmu_”
“Hey akhirnya... kalian berdua,” seseorang datang menghampiri mereka, dengan nafas terengah. “Aku mencari kalian kemana-mana, ternyata malah bermesraan disini,”
“Ada apa?” Junhoe melepaskan genggaman Jennie dari tangannya, membuat perempuan itu melangkah mundur sedikit menjauhinya.
“Semua orang mencari pengantinnya, sekarang waktunya berfoto. Pestanya sebentar lagi selesai, jadi lanjutkan saja urusan kalian itu di kamar nanti.”
“Kami tidak melakukan apapun.” Junhoe pergi mendahului mereka berdua.
“Aish jinjja. Anak itu dari dulu tidak berubah. Hey Jennie-ya, apa dia... hey apa kau menangis?” laki-laki itu mendekati Jennie, mendekatkan matanya melihat Jennie.
“Tidak, aku tidak menangis.”
“Bohong. Apa dia yang membuatmu menangis? Junhoe memarahimu?”
“Tidak, aku tidak apa-apa. Tadi Junhoe hanya membicarakan pernikahannya, dan itu membuatku sedih. Tapi aku tidak apa-apa,”
“Ah... rupanya kau terharu karena akhirnya menikah dengan anak nakal itu?” dia tersenyum, mengusap kepala Jennie. “Yah... rasanya aku juga tidak percaya kau menikah. Kupikir dia hanya anak kecil, tapi sekarang Junhoe sudah dewasa dan menjadi suamimu. Rasanya, kalian berdua tetap anak kecil di mataku.”
“Samcheon, aku sudah besar. Berhenti menyebutku anak-anak.”
“Baiklah, sekarang kau sudah menjadi istri dari Koo Junhoe, aku tidak akan menyebutmu anak-anak lagi. Sekarang ayo cepat kembali, kau harus berfoto dengan semuanya.” laki-laki setengah baya yang Jennie panggil Samcheon itu, menggandeng tangannya, kembali menuju ruangan itu.
Sebentar lagi pesta pernikahan ini selesai. Setidaknya, itu akan lebih baik.
            ***

Koo Junhoe mengedarkan pandangannya menatap ballroom hotel itu sekali lagi, berharap matanya bisa melihat sosok itu, dan sayangnya itu mustahil. Yah.. sepertinya otaknya sudah rusak, bagaimana dia bisa berfikir kalau kekasihnya datang ke pernikahannya. Mustahil.
Junhoe menghela nafas, lalu melangkah pergi meninggalkan ballroom. Pesta pernikahannya sudah selesai, tapi disana ada beberapa tamu undangan yang masih berbincang dengan keluarganya, mungkin hanya sekedar untuk membuat kesan baik. Junhoe tidak peduli.
“Junhoe-sshi tunggu....”
Tanpa perintah, tangan laki-laki itu menahan pintu liftnya, menunggu perempuan yang setengah berteriak minta di tunggu. Tanpa kata, Junhoe membiarkan Jennie masuk ke dalam lift, berdua bersamanya.
Pintu lift sudah tertutup, lift perlahan naik. Malam ini, karena pernikahan itu, mereka tidur di hotel ini. Sebelum besok mereka berangkat ke Nepal untuk bulan madu. Itu sudah keputusannya, mereka tidak bisa menolak.
Sampai lift berhenti dan pintunya terbuka, masih tidak ada kata yang terucap dari Junhoe ataupun Jennie. Rasa canggung itu terlalu menekan untuk salah satu dari mereka membuka suara, dan akhirnya diam yang dipiih.
Junhoe melangkah keluar lift lebih dulu, kemudian Jennie. Langkah perempuan itu terbatas, karena gaun yang menyapu lantai itu sedikit berat dan merepotkan, ditambah sepatu tingginya yang sudah dia pakai berdiri berjam-jam tadi. Langkah mereka berdua jauh, Junhoe masih berjalan sendiri di depan.
“Ini menyebalkan...” Jennie berhenti melangkah, mengangkat bagian bawah gaunnya dan melepas sepatu hak tinggi itu. Dia bergumam kecil, mengucap sumpah serapah untuk seseorang yang menciptakan sepatu dengan hak tinggi ini.
“Ada apa?”
“Huh?” Jennie mengangkat wajahnya melihat Junhoe. Laki-laki itu menghentikan langkahnya dan menatapnya sekarang. “Tidak apa-apa.” Jennie mengeluarkan senyum kecilnya, dan menggeleng.
“Lalu, kenapa sepatunya dilepas?”
“Ah.. ini sedikit.. kaki pegal memakainya dari tadi. Tapi tidak apa-apa, aku masih bisa berjalan dengan in_” Jennie langsung memotong ucapannya, menahan nafasnya dan menatap laki-laki jangkung itu. Junhoe tiba-tiba mendekat dan menggendongnya.
“Kakimu lecet. Itu rasanya perih kan, jika berjalan,”
“Ta-tapi aku... tidak apa-apa, kau tidak usah melakukan ini Junhoe-sshi. Rasanya sedikit... memalukan kalau di lihat orang,”
“Tidak ada yang melihat. Ambil sepatumu.” Junhoe berjongkok, melempar tatapan pada sepatu Jennie. Dan karena itu, apa boleh buat, jika Junhoe sudah menggendongnya, Jennie hanya tinggal diam dan menunggu sampai dia menurunkannya lagi. Perempuan itu mengambil sepatunya, lalu Junhoe kembali berdiri dan berjalan.
Aromanya. Jennie bisa mencium aroma tubuh Junhoe, bahkan dari jarak sedekat itu dia juga bisa mendengar hela nafas laki-laki itu. Ini memang rasanya memalukan, tapi juga menyenangkan. Jennie memejamkan matanya erat, menahan debar jantungnya yang bertambah cepat. Bersama Junhoe dalam jarak sedekat ini, membuatnya gugup.
“Apa lukanya benar-benar perih?”
“Huh?” Jennie mengangkat wajahnya menatap Junhoe, tatapan laki-laki itu memang lurus ke depan, tapi rasanya dia juga menatapnya. “A-ah tidak... lukanya hanya sedikit perih.”
“Kukira kau menutup mata karena benar-benar perih.”
“Aku bilang tidak apa-apa.”
Junhoe tidak menjawab lagi. Dan beberapa detik kemudian, dia berhenti berjalan, menurunkan Jennie di depan pintu kamar mereka. “Kau bisa berjalan?” Junhoe membuka pintunya.
“Yah, aku bisa berjalan sendiri. Terima kasih.”
“Aku pergi sebentar, kau masuklah dulu.” tanpa masuk ke dalam kamar, Junhoe langsung pergi meninggalkan Jennie yang masih di depan pintu kamar itu.
“Gomawo Juni.” Jennie tersenyum, menatap punggung Junhoe yang menjauh. Lalu menjinjing sepatunya dan berjalan masuk ke dalam kamar.
---
“Oh! Mengagetkan...” Jennie melangkah mundur dan bersandar pada pintu kamar mandi, melihat Junhoe yang tiba-tiba sudah berdiri menatapnya.
“Duduklah, obati lukamu,” Junhoe menarik tangan Jennie dan mendudukkannya di ranjang, membuka kotak kecil obat kecil di tangannya. “Akan sedikit perih, tahanlah.”
“Iya, tidka apa-apa.”
Junhoe mengoleskan salep pada lukanya, lalu memasang plester. Dia melakukannya dengan hati-hati dan perlahan, membuat Jennie menahan senyum melihatnya. Laki-laki itu tidak berubah.
“Ah..”
“Sakit? Maaf,”
“Tidak apa-apa. Aku sudah menahan perihnya sejak mandi tadi,”
“Sudah, selesai. Jangan terluka lagi, perempuan tidak_”
“Perempuan tidak cantik jika punya bekas luka...”
Junhoe menatap Jennie, perempuan itu memotong ucapannya. “Aku tahu, kau sudah sering mengatakannya.” Jennie hanya tertawa melihatnya.
“Ehm... baiklah kalau tidak apa-apa, aku mau mandi.” Junhoe beranjak dan masuk ke dalam kamar mandi. Tatapan mereka bertemu tadi, dan itu pertama kalinya.
“Terima kasih, Junhoe-sshi.”
Junhoe menutup pintu kamar mandinya, tanpa menjawab Jennie. Dan perempuan itu kembali tersenyum, melihat plester bergambar Pororo di kakinya.
            ***

Mendengar suara langkah kaki, Jennie melirik ke belakang, melihat Junhoe berdiri beberapa langkah darinya. “Bintangnya banyak, meski ini bukan musim panas. Indahnya...” Jennie kembali mengalihkan tatapannya pada langit malam dengan rombongan bintang.
Junhoe tidak melihat langitnya, ataupun bintangnya, dia hanya melihat perempuan yang berdiri di belakang pagar balkon itu. Perasaannya tidak bisa dia artikan, dia memikirkan dua perempuan dalam kepalanya sekarang.
“Aku... akan pergi,”
Senyuman di bibir Jennie menyusut, dia menarik tatapannya pada Junhoe. Laki-laki itu menghindari tatapannya. “Iya, silahkan,” dengan cepat, senyuman itu kembali melengkung di bibirnya. “Aku tidak akan melarangmu pergi kemanapun.”
Junhoe diam. Dia merasa dirinya lebih rendah dari seorang pengecut. “Maaf, aku... tidak bisa melakukan apapun.”
“Tidak apa-apa. Lagipula, tidak harus selalu ada yang di lakukan. Pergilah.” Jennie berbalik, kembali memandang bintang. Ini malam pernikahannya, tapi dia membiarkan suaminya pergi dengan senyuman. Tidak apa-apa.
Suaranya terdengar, pintu yang dibuka dan di tutup kembali. Jennie melangkah melihatnya, menatap pintu kayu itu. Koo Junhoe sudah pergi. Tidak apa-apa. Dia mengerti. Karena ini adalah salahnya. Pernikahan ini adalah kesalahannya. Dan juga dia tidak harus memaksa Junhoe menerimanya sebagai isteri.
            ***

Jennie membuka mata, ponselnya berdering seolah bergema di ruangan itu. Tangannya bergerat meraih ponsel itu, tapi kemudian deringnya berhenti. Dia tidak sempat menerima panggilan masuk ke ponselnya.
“Ah.. Appa selalu tidak sabaran...” Jennie memaksakan diri untuk bangun, membuka kedua matanya lebih lebar. Sudah banyak panggilan yang masuk ke ponselnya, dan itu hanya dari Ayahnya. Pasti orang tua itu hanya ingin memastikan kalau mereka tidak ketinggalan pesawat pagi ini.
Jennie melirik pintu kamar mandi, dia mendengar suara gemercik air. Seseorang sedang mandi di dalam sana. Lalu tatapannya beralih pada bantal di sampingnya, tapi itu masih rapi seperti semalam. Seseorang yang sedang mandi itu pasti tidak tidur disana semalam.
“Sudah bangun?”
Jennie tersentak, lalu dengan cepat melempar tatapannya pada Junhoe yang berdiri di depan kamar mandi. Laki-laki itu hanya terbalut handuk dari pinggang sampai lututnya, dan rasanya itu memalukan. Jennie langsung memalingkan wajahnya. “I-iya, aku baru bangun.”
“Pesawatnya berangkat satu jam lagi,  masih banyak waktu. Kita bisa berangkat setelah sarapan.”
“Iya. Ka-kalau begitu aku akan mandi dan bersiap.” Jennie masih menghindarkan matanya dari Junhoe, dia tidak mau melihat tubuh setengah telanjang suaminya. Itu memalukan rasanya.
Yah, rasa canggung itu sudah mengalihkannya. Membuatnya tidak peduli untuk bertanya dimana suaminya tidur semalam, atau bersama siapa suaminya semalam. Rasanya itu tidak bisa dia tanyakan, karena huungan mereka terlalu canggung untuk menjadi sehangat hubungan pasangan pengantin lain.
            ***

Gemuruh suara orang-orang sudah tidak aneh lagi disini, banyak orang berlalu-lalang berjalan menuju tujuannya. Benar-benar ramai, seperti biasanya tempat umum. Dan ini salah satunya tempat umum dengan banyak orang, bandara.
Karena tidak bisa menolak, mereka harus pergi bulan madu. Walau nantinya tidak tahu apa yang harus di lakukan disana, mengingat hubungan mereka rasanya tidak bisa dikatakan untuk berbulan madu.
Tapi masalah itu tidak di pikirkan, sekarang banyak hal lain yang sedang dipikirkan peremempuan berambut panjang ini. Dia melirik lagi ke samping kirinya, melihat Junhoe yang masih sibuk dengan ponselnya. Sepertinya laki-laki dengan suara berat itu sedang menghubungi seseorang, tapi masih tidak terhubung. Dan mungkin, Jennie tahu siapa yang Junhoe coba hubungi.
“Junhoe-sshi, kau tidak apa-apa? Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu_”
“Aku tidak apa-apa.”
“Baiklah.” Jennie melepas tatapannya dari Junhoe. Laki-laki itu sepertinya memang sedang tidak baik. Dia tidak bicara jika tidak ditanya, dan sekalipun bersuara, hanya mengucapkan satu atau dua kata. Junhoe terus bersama ponselnya.
Pesawat tujuan Nepal akan berangkat sepuluh menit lagi. Tapi rasanya, ini sangat berbeda.
“Junhoe-sshi, bisa aku bicara sebentar?”
“Ada apa? Kau melupakan sesuatu?”
Jennie tersenyum, lalu menggeleng. Junhoe memang sedang tidak baik. “Aku tidak apa-apa, juga tidak ada yang tertinggal. Tapi ini tentangmu,”
“Aku? Oh apa aku meninggalkan pasportku?” Junhoe langsung memeriksa saku jaketnya.
“Bukan,”
“Lalu apa?” Junhoe menahan paniknya, menatap Jennie.
“Pergilah. Temui orang yang kau ingin temui, kau tidak usah pergi ke Nepal bersamaku. Jadi pergilah.”
“Apa maksudmu? Tapi pesawat akan berangkat sek_”
“Aku tahu, tapi hanya aku yang berangkat. Kau pergilah.”
“Kenapa? Bukankah kita harus pergi ke Nepal untuk_”
“Tidak. Memangnya untuk apa kita pergi ke sana berdua jika tidak ada yang akan kita lakukan? Jadi lupakan saja, dan pergilah menemuinya. Bukankah kau ingin menemuinya?”
“Sebenarnya apa yang kau bicarakan?”
Jennie menarik nafasnya dalam, memasang senyum lebih cerah di wajahnya. Dia menatap Junhoe, mencoba meyakinkannya kalau yang akan dia ucapkan adalah benar. Ini memang menyakitkan, tapi ini adalah hukuman untuk kesalahannya. Karena sudah merebut seseorang.
“Junhoe-sshi, maaf. Sebenarnya aku sudah bicara dengan Appa dan orang tuamu, sebelum pernikahan. Dan mereka menerimanya. Jadi, menikahlah juga dengannya,”
“Apa?” Junhoe menajamkan tatapannya, seolah mencari kebenaran dari tatapan Jennie. “Me-menikah? Apa kau sudah gila?”
“Aku tidak gila, tapi kau yang jadi gila karenanya. Jadi menikahlah lagi, dengannya, Junhoe-sshi. Kau harus menikah dengan kekasihmu.”
“Kim Jennie! Berhenti bercanda, pesawatnya akan berangkat sebentar lagi_”
“Aku sama sekali tidak bercanda, aku sungguh-sungguh. Dan juga keluargamu menyetujuinya, mereka mengizinkanmu menikah lagi dengannya. Jadi pergilah, tidak apa-apa.” Jennie masih mempertahankan senyumannya, meyakinkan Junhoe.
“Tidak, ini sama sekali tidak lucu. Berhenti me_”
“Junhoe-sshi, kau sangat mencintainya kan? Dan pernikahan kita adalah kesalahanku, jadi biarkan aku setidaknya menebus itu padamu dengan ini. Kau menikah lagi dengannya.”
Koo Junhoe terdiam, berusaha mencerna semua perkataan itu dengan baik dalam kepalanya. Dia tidak percaya dengan dua telinganya, dia tidak percaya dengan Jennie, tapi itu nyata dia dengar. Juga, dia mencintai kekasihnya, Park Chaeyoung yang dia tinggalkan karena pernikahan ini. Tapi, apa ini benar? Apa pernikahan dengan Chaeyoung adalah benar? Atau salah? Junhoe lebih rendah dari sampah.
“Maaf... maafkan aku, karena membuatmu dalam cerita seperti ini, aku minta maaf. Aku hanya ingin kau bersama orang yang kau cintai, walaupun aku tidak bisa membuatmu lepas dariku. Jadi menikahlah dengannya, tidak apa-apa,”
“Be-benarkah?”
“Tentu saja, ini benar,” Jennie melangkah lebih dekat ke hadapan Junhoe, mengusap pipinya menghapus air mata yang akan jatuh menetes. Dia menahan senyumannya lebih lama, agar air matanya tidak ikut jatuh. “Setidaknya, kau akan lebih baik jika bersama orang yang kau cintai. Maafkan aku... maafkan aku...”
“Tidak, seharusnya aku yang berkata maaf. Pernikahan ini bukan salahmu, dan jika pernikahan keduaku itu terjadi, jangan katakan itu adalah penebus dosamu, tapi itu adalah luka yang aku berikan padamu. Maafkan aku... maaf....” Junhoe menarik Jennie ke dalam pelukannya.
“Junhoe-sshi...”
“Terima kasih, Noona.”
Saat pelukan itu terlepas, senyuman terlihat di bibirnya, membuat Jennie tidak bisa lagi menahan air matanya lagi. Dia menangis karena senyuman Junhoe. Rasanya sangat menyakitkan, tapi juga melegakan. Dia membiarkan suaminya menikah lagi. Dan itu hukuman karena merebutnya dari orang lain.
Junhoe pergi. Dia berlari pergi meningalkannya.
“Tidak apa-apa....” Jennie menepuk-nepuk dadanya, mencoba menghilangkan rasa sakit itu, rasa sesak itu. Dia menghapus air matanya, berbalik dan kembali menarik kopernya berjalan. Pesawatnya akan berangkat. Dan akhirnya, ini hanya cerita bulan madu tanpa sang pengantin laki-laki.

            -bersambung-
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklaan

SUPER JUNIOR