luhanay blog Follow Dash Owner

Rabu, 25 Oktober 2017

[FF] Summer Rain



Tittle: Summer Rain

Rate: PG-18

Length: Chapter

Genre: Drama, Romance, Marriage life

Cast: Koo Junhoe // Kim Jennie // Kim Hanbin // Park Chaeyoung // Kim Donghyuk // other

Summary: “Bukan cinta yang mendewasakan manusia, tapi kedewasaanlah yang bisa mengartikan cinta”

Disclaimer: Cerita FF ini, dan original character, adalah milik saya.

Author: Cifcif Rakayzi
=== ======= === ======= === ======= ===





Chapter 1


Benda bulat kecil yang berlubang itu, perlahan masuk melingkar di jari manisnya. Menunjukkan sebuah ikatan, yang juga berarti kepemilikan. Sekarang perempuan itu sudah resmi menjadi milik laki-laki yang mengikatnya dengan benda bulat bernama cincin tadi.


Seraya menaikkan pandangan menatapnya perlahan, perempuan itu menarik nafas dalam. Mencoba mengendalikan detak jantungnya yang kacau. Dia berdebar. Perasaan ini, rasanya entah kenapa.. benar-benar aneh. Sekarang gilirannya, memasangkan cincin pada jari manis laki-laki di hadapannya

Senyuman kecil yang manis tiba-tiba mengembang di wajahnya, seolah memberinya waktu untuk ketenangan. Tidak apa-apa, perlahan saja. Itu yang dia rasakan saat melihat senyumannya. Dan akhirnya, kedua cincin itu sudah masing-masing melingkar di jari manis kedua pengantin ini. Mengikat mereka dengan janji suci sehidup semati untuk saling mencintai.


Riuh tepuk tanganpun terdengar memenuhi ruangan, senyum bahagia mengembang di wajah para tamu undangan dan keluarga khususnya. Seolah mereka ikut merasakan debaran dan perasaan bahagia kedua pengantin.


Tapi, jika ditanyakan kembali, benarkah kedua mempelai bahagia atas janji sehidup semati untuk saling mencintai itu?

Mengingat cerita mereka sebelum pernikahan ini terjadi, ada beberapa hal yang berjalan sedikit kurang baik. Entah itu dari awal pertemuan mereka, ataupun alasan dibalik pernikahan ini. Semua itu, mungkin akan memberikan jawaban polos “Apa yang membahagiakan dari pernikahan ini?”.


            ***
 



-Enam hari sebelum pernikahan-



Sore itu benar-benar cerah, pada awalnya. Hanya saja, hujan deras tiba-tiba turun dan membasahi semuanya. sinar matahari masih sedikit terlihat, tertutup awan abu-abu. Karena rombongan air yang datang tiba-tiba saat matahari masih bersinar, ada pembiasan cahaya yang terjadi. Pelangi, melengkung bersinar di ujung langit sore itu.


Orang-orang berlarian secepat mereka bisa, mencari tempat berteduh sebelum hujan lebih banyak membasahi mereka. Tapi di tengah itu, ada dua tatapan yang saling membeku, terikat diam seolah waktu berhenti.


Pakaian mereka basah, sudah terlambat jika mereka ingin menghindar. Perempuan berambut panjang itu diam tertahan saat laki-laki itu menarik dan menahan tangannya. Tatapan itu terus menjelajah semakin dalam, mencari arti.


“Kim Jennie, menikahlah denganku...”


Sore itu, di depan sebuah caffe yang halamannya dipenuhi pot berisi macam-macam bunga, suasananya tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang berjalan kaki, dan sekarang mereka merapat ke halaman caffe untuk berteduh. Suara hujan memang keras, seolah memenuhi ruang terbuka tanpa batas itu, tapi.. suara laki-laki itu bisa mereka dengar dengan jelas. Di tengah hujan deras itu, laki-laki jangkung yang menahan tangan perempuan di hadapannya, mengucapkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang mungkin menurut sebagian orang adalah pertanyaan yang indah.


“Apa?”


Tanpa melepas tatapan mereka, tanpa sedikitpun melonggarkan genggaman tangannya, laki-laki itu memperdalam tatapannya dan menarik nafas, menyakinkan dirinya dengan pertanyaan itu, dan meyakinkan perempuan yang dia beri pertanyaan itu.


“Apa.. kau mau menikah denganku?”


“Kenapa?”


Laki-laki itu diam, memalingkan tatapannya ke bawah dan ke arah lain dengan cepat. Mereka menunggu. Yah, mereka yang juga mendengar pertanyaan itu, juga seolah diam menunggu jawaban. Tidak peduli hujan yang sudah membasahi semuanya, ataupun bisingnya suara cipratan jutaan air jatuh itu, rasanya seperti hening.


“Aku tidak tahu, tapi rasanya.. seperti aku meneriakkannya kalau kau adalah orangnya.”


Perempuan itu sedikit memperdalam tarikan nafasnya, mencoba mencerna perlahan apa yang sedang terjadi padanya sekarang.


“Apa ini sebuah lamaran?”


Laki-laki itu kembali menarik tatapannya bertemu dua manik mata di hadapannya, menatap perempuan yang menatapnya menunggu jawaban, lagi.


“Jika benar, apa kau akan langsung menjawab ‘iya’?”


Tidak ada jawaban, perempuan itu diam. Guyuran hujannya semakin deras, tapi seakan tidak ada yang peduli. Orang-orang itu masih disana, diam menunggu pertanyaan itu terjawab. Mereka menunggu akhir dari scene itu.


“Semua orang melihat kita, kau harus mengatakan ‘iya’ jika tidak ingin dibicarakan mereka,” laki-laki itu menariknya mendekat, berbisik dan merapatkan tubuh mereka.


Memang benar, saat perempuan itu melihat sekelilingnya, orang-orang masih menjadikan mereka fokus perhatian. Dan pastinya, itu tidak akan berakhir sebelum dirinya memberi jawaban.


Perempuan berambut panjang yang bernama Kim Jennie itu, kembali membawa tatapannya pada laki-laki di hadapannya, yang tiba-tiba memberinya senyuman. Laki-laki jangkung bernama Koo Junhoe itu tersenyum. Hanya senyuman kecil, tapi entah kenapa itu terlihat seperti pelangi. Pelangi yang diam-diam menghipnotisnya, membuat bibir itu tanpa perintah mengucapkan jawaban.


“Iya..”


Laki-laki itu mengembangkan senyuman kecilnya, menarik perempuan itu kedalam ciumannya. Dan entah kenapa, sorak tepuk tangan terdengar bersamaan dengan jawaban itu, senyum dan tawa mereka mengembang beriringan dengan ciuman itu. Tepuk tangan yang mengakhiri pertunjukkan.


Hujannya sedikit mereda, tapi sepertinya tidak menjadi pertanda kalau hujannya akan berhenti. Mungkin akan sampai semalaman titik-titik air itu mengguyur. Walaupun ini masih musim panas, tapi akhir-akhir ini hujan sering datang. Mungkin itu pertanda kalau musim panas segera berakhir, tapi siapa yang tahu.

            -tbc-

Pelangi



Matahari sudah tenggelam, hanya menyisakan beberapa baris sinar kuningnya. Malam perlahan tiba.
Riuk ombak masih bergelombang, dan angin kecil masih sesekali berhembus. Sunyi. Petang itu tidak ada nyayian burung.

Gadis itu masih disana.

Dia masih sendiri, duduk di atas pasir basah yang sesekali terhempas ombak. Seolah tidak berniat untuk beranjak, gadis itu masih menatap jauh lautan tanpa ujung.
Dia bahkan tidak menyeka air matanya, membiarkan itu menggenang membahasahi kedua pipinya. Dia menangis.

Entah apa yang dia pikirkan, entah apa yang dia inginkan, rasanya itu terlalu sesak dan menyakitkan.

Laut terlalu dalam untuk diselami, bintang terlalu tinggi untuk digapai, jalanan terlalu jauh untuk dilalui. Seolah seperti itu kesedihannya. Rasa sesak itu, air mata itu, mereka hanya pengganggu yang membuat putus asa.

Keinginan yang tak tercapai, bahkan entah apa keinginan itu.

Kali ini angin berhembus lebih kencang, membuat beberapa butir pasir juga terhempas. Gadis itu menutup matanya, menggerakan tangan menghapus air matanya.

Dia tidak ingin menangis, dia hanya ingin tertawa. Tidak peduli tawa apa itu, entah tawa hambar atau tawa bahagia, dia sangat ingin hatinya tertawa.

Dan dia juga tahu, tawa itu pelangi.

“Bagai pelangi selepas hujan, yang tak bertahan lama.”

Dia pikir, tawa itu tidak pernah menang dari air mata.

Shandy Story



17 September 2017

Sang Surya masih di atas langit, dengan gagahnya bersinar terang.
Udara naik memanas perlahan, dan sayangnya angin tidak banyak berhembus. Seolah berat dan ingin berteriak “Melelahkan”.
Mungkin ini sudah kesekian kalinya menghela nafas, menghebuskan nafas dalam tanda mencari penyemangat baru.
Benar-benar panas, melelahkan dan berat. Dua manik mata mulai memerah menahan kantuk, dan terkadang goyangan kepala tak terkendali. Dilema.
Dan saat itu, beberapa detik ditengah rasa gundah itu, angin kecil berhembus. Tak sengaja tatapan mata tertangkap. Tatapan mata yang dingin, dalam, biru seperti laut.
Tatapan itu seolah menjadi es yang mendinginkan, dan senyuman kecil polosnya bagaikan bunga mekar di pinggir jalan di pagi hari.


***

 19 September 2017

Namun sayang, cerita itu berlalu tanpa akhir.
Hanya selesai dengan senyuman air mata. Putih tanpa coretan tita. Kertas itu tidak ditulis cerita.
Hanya meninggalkan kenangan, senyum manis dari rasa itu. Menjadi ingatan hambar tentang cinta pertama dalam cerita kemarin.

Cerita Sore



Gadis itu merapikan rambutnya, mengikat rambut hitam panjang itu asal. Dia tidak mempedulikan kerpaihan saat ini. Dia menarik nafas dalam, lalu tersenyum tipis sebelum akhirnya menaiki sepedanya. Mengayuh benda beroda dua itu secepat dia bisa, membiarkan angin membelai tubuhnya kasar, mencoba mengosongkan pikirannya dari banyak hal rumit yang ditakutinya. Tapi ternyata, dia tidak sekuat yang diinginkannya. Hanya bertahan beberapa detik senyuman tipis itu bertahan di bibirnya, karena air matalah yang akhirnya kembali menghias wajahnya. Dia, gadis berambut panjang itu, hanya ingin pergi dari cerita buruknya, tapi dia tidak tahu darimana dia bisa mendapatkan kekuatan untuk menggerakkan kakinya, untuk berlari  pergi dari ceritanya. Hanya sekali saja, hanya untuk saat ini saja, mungkin dia boleh mengatakan kalimat itu. Bahkan dia boleh menjerit jika bisa. “Kenapa dunia bisa menjadi tidak adil untukku?”

Tidak, bukan berarti dia egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri, karena dia juga tahu tentang mereka yang ceritanya lebih buruk darinya. Tapi kekuatan yang terus berkurang itu, harapan yang perlahan terkikis itu, dan semangat yang menghilang bersama hela nafasnya, membuatnya tidak ingin melakukan apapun. Dia tidak menganggap ceritanya adalah yang paling buruk dari semua orang, tapi dia berharap ceritanya menjadi yang paling buruk sekarang, agar dia bisa menjerit dan menangis menghabiskan air matanya, lalu menghilang bersama datangnya mentari pagi. Sekarang, tidak peduli dengan sebutan pengecut yang akan melekat padanya, dia hanya ingin memilih pilihan kedua, yaitu menyerah.

Suaranya tidak terdengar lagi, jeritan itu menarik suara miliknya. Air mata itu tidak datang lagi, dan rasanya perih, karena tangis itu menguras semua air matanya. Dia meleburkan sisa kekuatan yang masih dimilikinya bersama angin, angin yang dingin pagi itu. Dan akhirnya, dia tersenyum. Senyuman terindah yang pernah dia miliki. Dia bahagia, rasa lelah dan sakit itu perlahan menghilang bersama datangnya sang surya yang keluar dari persembunyiannya dibalik gunung. Hembusan angin terakhir itu, membawa dirinya pergi, mengakhiri ceritanya.

iklaan

SUPER JUNIOR