Matahari sudah tenggelam, hanya menyisakan beberapa
baris sinar kuningnya. Malam perlahan tiba.
Riuk ombak masih bergelombang, dan angin kecil masih
sesekali berhembus. Sunyi. Petang itu tidak ada nyayian burung.
Gadis itu masih disana.
Dia masih sendiri, duduk di atas pasir basah yang
sesekali terhempas ombak. Seolah tidak berniat untuk beranjak, gadis itu masih
menatap jauh lautan tanpa ujung.
Dia bahkan tidak menyeka air matanya, membiarkan itu
menggenang membahasahi kedua pipinya. Dia menangis.
Entah apa yang dia pikirkan, entah apa yang dia
inginkan, rasanya itu terlalu sesak dan menyakitkan.
Laut terlalu dalam untuk diselami, bintang terlalu
tinggi untuk digapai, jalanan terlalu jauh untuk dilalui. Seolah seperti itu
kesedihannya. Rasa sesak itu, air mata itu, mereka hanya pengganggu yang
membuat putus asa.
Keinginan yang tak tercapai, bahkan entah apa
keinginan itu.
Kali ini angin berhembus lebih kencang, membuat
beberapa butir pasir juga terhempas. Gadis itu menutup matanya, menggerakan
tangan menghapus air matanya.
Dia tidak ingin menangis, dia hanya ingin tertawa.
Tidak peduli tawa apa itu, entah tawa hambar atau tawa bahagia, dia sangat
ingin hatinya tertawa.
Dan dia juga tahu, tawa itu pelangi.
“Bagai pelangi selepas hujan, yang tak bertahan
lama.”
Dia pikir, tawa itu tidak pernah menang dari air
mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar