Tittle: Remember
Love You
Rate: 15 ||
Genre: Drama || Length: Oneshot
Cast: Bobby |
Kang Jiho | Koo Junhoe | Lee Suhyun | Kim Hanbin
======= ======
=======
Koo Junhoe menghela nafas bosan, untuk kesekian
kalinya dia menekan tombol remote, mengganti channel televesi yang dia tonton.
Tapi tidak ada yang menarik perhatiannya, semua acara membosankan.
Setelah bertemu Bobby tadi, Suhyun tidak
menghubunginya, bahkan dia meninggalkannya sendiri di halte bus.
Junhoe mematikan televisinya, beranjak dan berjalan
menuju jendela. Cuaca tidak begitu cerah, dan angin selalu berhenbus
menerbangkan dedaunan. Sekilas pria bermata sipit dan gigi kelinci itu muncul
dalam kepalanya, membuat ucapannya kembali terngiang di telinga Junhoe. Dia
tidak mengerti maksud pria itu, dia bahkan tidak tahu kalau pria itu sepupunya.
Junhoe masih kehilangan banyak ingatannya.
Junhoe melangkah keluar rumah, berharap udara di
luar bisa sedikit membantunya lebih tenang.
Pria jangkung ini menghentikan langkahnya, melihat
sekeliling, sedikit bingung kenapa dia bisa berjalan ke danau itu lagi.
sepertinya dia yang dulu menyukai tempat ini, atau mungkin banyak hal indah
yang terjadi disini.
“Junhoe-ya...”
Pria itu menoleh cepat, terkejut dengan suara lembut
yang memanggil namanya. Dia ingat suara itu, suara gadis bertopi itu.
“Tidak Junhoe, tunggu!” gadis itu cepat berucap saat
melihat Junhoe melangkah mundur hendak pergi. “Hanya sebentar,” dia mencoba
menahan.
Junhoe menahan langkahnya, mengurungkan niat untuk
lari menghindari gadis itu. jantungnya kembali berdetak tidak beraturan,
perasaannya tdak jelas merasa apa, dia hanya tidak tahu harus bagaimana.
“Aku hanya ingin minta maaf,”
Junhoe mengangkat tatapannya, melihat gadis itu. Dia
menahan nafasnya, mendengar gadis itu mengatakan maaf dengan suara lembutnya,
membuat jantung Junhoe berdetak terlalu kencang sampai sesak, seolah jantung
itu akan loncat dari tubuhnya.
Gadis bertopi itu melangkah mendekatinya, membuat
Junhoe benar-benar sesak dengan jantungnya sendiri. Dia tercekat. Gadis itu
mengulurkan seikat bunga padanya, tapi Junhoe tidak berpikir untuk juga
mengulurkan tangannya menerima bunga itu. Junhie diam.
“Maaf karena belum sempat minta maaf padamu sebelum
kecelakaan itu, maaf karena memaksamu mengingatku tanpa memikirkan kesehatanmu,
dan maaf karena selalu mengganggumu. Aku minta maaf,”
Entah kenapa rasa sesak itu sekarang menusuk
hatinya, memberi rasa perih. Junhoe tidak tahu, tapi dia merasa sangat bersalah
karena gadis itu menangis dan mengatakan maaf untuknya.
“Ini untukmu,” gadis itu mengulurkan bunga di
tangannya lebih dekat pada Junhoe. “Kau sering memberiku bunga dulu, dan
sekarang aku yang memberimu bunga.” dengan suara bergetar, dia mencoba
tersenyum. Dia berusaha lebih kuat menahan air matanya, walaupun beberapa tetes
lolos keluar.
Hening. Junhoe masih tidak membuka suaranya, dan
gadis itu terdiam.
“Aku tidak tahu siapa kau, dan aku tidak
mengingatmu. Jadi jangan minta maaf padaku, ataupun mengatakan sesuatu yang
tidak aku mengerti,” Junhoe melangkah melewati gadis itu. “Dan jangan pernah
muncul di hadapanku lagi, aku tidak mau melihatmu.” Ucapan itu yang Junhoe
gunakan sebagai penutup pertemuan mereka, lalu meninggalkannya.
Gadis bertopi itu menutup matanya, menarik nafas
dalam dan menghembuskannya perlahan. Hanya mencoba menenangkan dirinya. Dia
tidak bergerak sedikitpun, bahkan masih memegang erat bunga di tangannya, bunga
yang tidak di terima Koo Junhoe.
Titik-titik hujan datang dengan cepat, sedikit
banyak dan mulai membasahi semuanya. gadis itu tersenyum, berterima kasih
karena hujan datang. Dia tidak ingin menangis lagi, dan terbantu dengan
datangnnya air dari awan itu. Dia tidak perlu menahannya, karena air yang
membasahi pipinya bukan air mata, melainkan hujan. Dia akan mengeluarkan
semuanya.
“Hey gadis bodoh!”
Gadis bertopi itu mengerjap, benar-benar terkejut
dengan pria yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Dengan cepat dia melepas
lingkaran tangan pria itu, menjauh, mengangkat tatapannya bertemu dengan dua
iris pria di hadapannya.
“A-apa yang kau lakukan?”
Pria bermata sipit itu menatapnya tajam, tatapan
sulit di artikan. Dia mengambil bunga yang gadis itu jatuhkan, lalu selangkah
mendekat.
“Kau ingin seperti ini? Apa tidak apa-apa jika
ceritamu berakhir seperti ini? Benar tidak apa-apa bagimu?”
Gadis bertopi itu melangkah mundur, tatapannya
terkunci dengan pria itu. Dia tidak mengerti apa yang dikatakannya.
“Stupid. Jika iya, harusnya kau tidak perlu
menangis. Tapi jika tidak, kejarlah brengsek itu dan lakukan apapun padanya
sampai dia mengingatmu benar-benar lagi. Kecuali jika kau senang dengan akhris
cerita seperti ini, maka jangan lakukan apapun.”
Gadis itu diam, menahan detak jantungnya yang
berdetak cepat. Dia tidak bisa mengatakan apapun, ucapan panjang lebar pria itu
benar. Dia menginginkan Junhoe, dan tidak mau ceritanya berakhir seperti ini.
Tapi, memangnya apa yang bisa dia lakukan jika menolak, dia tidak bisa
melakukan apapun karena Koo Junhoe yang menghentikan ceritanya.
“Dengar, aku minta maaf karena seharusnya aku tidak
ikut campur masalahmu. Tapi jika kau menyerah seperti ini, maka jadilah
milikku,”
Gadis itu membeku, terpaku dengan akhir kalimat itu,
jantungnya serasa lompat dari tubuhnya. Pria sipit itu gila.
“Aku tidak gila, aku hanya jatuh cinta sejak pertama
melihatmu. Dan jika kau menjadi milikku, kau tidak usah khawatri karena aku
akan mencintaimu denan seluruh cintakku_”
“Hentikan!”
“Walau aku tidak bisa berjanji, tapi akan kupastikan
kalau aku akan selalu bersamamu, dan hanya menyimpan namamu dalam hatiku. Aku
akan_”
Plak.
Ucapan pria itu terhenti saat sebuah tamparan
mengenai sebelah pipinya. Gadis itu melangkah mundur, memalingkan tatapannya
dari pria yang sekarang terdiam.
“Sudah cukup, tidak usah mengatakan sesuatu yang
tidak kau tahu bisa melakukannya. Dan aku sudah berjanji untuk hanya mencintai
pria itu. aku tidak akan mengingkari janjiku sampai mati.”
Pria itu tersenyum, mengusap pipinya sekilas.
Kemnali menatap gadis di hadapannya. “Kau menolakku untuk pria yang
meninggalkanmu?”
“Aku tidak mengenalmu, jadi ini bukan urusanmu.”
“Hey.. aku sudah mengenalkan diriku padamu waktu
itu, kau tidak ingat?”
Gadis itu menatapnya ragu, mengingat kembali apa
mereka pernah bertemu.
“Namaku Bobby,”
“Aku tidak tahu siapa kau.”
“Kalau begitu, beri tahu namamu. Dengan begitu kita
akan saling mengenal, dan menjadi teman,” Bobby tersenyum, mengulurkan
tangannya kehadapan gadis itu.
Hujan masih mengguyur, dan sekarang semakin deras.
Mereka tidak memperdulikannya. Tatapan itu bertemu sekarang.
“Kim Jiho.” Jawabnya pelan, lalu berlari
meninggalkan Bobby.
“Jadi bunga ini di tinggalkan lagi?” Bobby menatap
bunga yang masih dia pegang. Bunga yang tidak diterima Junhoe, dan di
tinggalkan Jiho.
***
Saat Guru Shin masuk, kelas menjadi tenang dan
tertib, seperti biasa. Semua murid duduk di kursinya, bersiap memulai pelajaran
untuk hari ini.
“Lee Suhyun,” Guru Shin menahan langkah sebelum
duduk di kursinya, melempar tatapan pada gadis berpipi chubby yang sekarang menatapnya.
“Ne?”
“Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu di luar,”
“Siapa?” Suhyun bertanya ragu. Pikirannya berpikir
cepat menebak seseorang yang di maksud Guru Shin.
“Dia bilang sepupumu. Cepatlah temui dia sebelum
kita mulai pelajarannya.” Guru Shin duduk, membuka buku ditangannya.
“Ne Saem, terima kasih.” Suhyun mengangguk, beranjak
dari kursinya dan berjalan keluar kelas. Dia melihat sekeliling koridor, tapi
tidak ada siapapun disana. Sepi.
“Annyeong Suhyun-ah,”
Kaki gadis itu tertahan saat hendak berbalik,
mengurungkan niat untuk kembali masuk kedalam kelas. Nafasnya tercekat melihat
seringaian khas pria bergigi kelinci besar itu. Bobby.
“Ayolah, jangan menatapku seperti itu.” Bobby
tersenyum, melangkah mendekati Suhyun.
“A-ada apa Oppa kesini?” Suhyun kembali menguasai
dirinya.
“Hanya ingin bicara denganmu. Bisa ikut aku
sebentar?”
Suhyun tidak sempat menjawab, tangan pria itu sudah
menarik tangannya, memaksa mengikuti langkahnya. Pertanyaan itu tidak
membutuhkan jawaban sepertinya. Dia menarik tangannya sendiri, mencoba
melepaskan genggaman itu, tapi tidak bisa. Bobby memaksanya.
“Lepaskan!”
“Tenang, aku tidak akan membunuhmu. Hanya sebentar,”
“Aku tidak mau. Lepaskan!”
Bobby sengaja menulikkan pendengarannya sekarang,
tidak peduli Suhyun yang berteriak atau pukulan yang dia berikan. Toh gadis itu
tidak cukup kuat untuk melepaskan genggaman tangannya.
“Apa yang kau inginkan Oppa?” Suhyun meringis, langsung
memegang tangan kanannya saat Bobby melepaskannya. Pergelangan tangannya merah
berbentuk jari, pria itu menggenggamnya terlalu kuat.
Bobby menarik nafas, melihat sekeliling. Atap
sekolah. Dia membawa Suhyun kesana. “Suhyun-ah dengar, aku akan minta maaf
padamu sebelumnya,”
“Untuk apa?” Suhyun menunduk, sengaja menghindari
tatapan pria itu.
“Aku sudah mengerti, dan aku akan merusaknya
sekarang. Aku akan menyelesaikan apa yang sudah kau mulai,”
“Apa yang Oppa maksud?” Suhyun langsung melempar
tatapan pada Bobby, melupakan niatnya untuk tidak beradu tatapan dengan pria
itu.
“Berhentilah, tinggalkan Junhoe,”
“Mwo?” Suhyun tecekat. Tubuhnya benar-benar beku
sekarang. Dia mengerti maksud Bobby. Pria itu sudah mengetahui apa yang dia
lakukan. Dan rasanya, seolah balok es raksasa jatuh menimpa tubuhnya.
“Jangan teruskan itu, berhentilah. Tidak seharusnya
kau melakukan itu. Terlebih, kau melakukannya karena perasaanmu padaku.”
Suhyun melangkah mundur, kakinya bergetar. Dia tidak
bisa mengontrol detak jantungnya. Lidahnya kelu untuk berucap. Merasa seolah
Bobby menusuknya dengan pedang sampai menembus tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan ini salah, kau tidak akan bisa
bahagia jika menyakiti orang lain. Dan kau tidak akan bisa membuat hatimu
tenang. Berhentilah Suhyun-ah,”
“Hentikan!” Suhyun tiba-tiba menjerit. “Aku tidak
mengerti apa yang kau katakan, jadi berhentilah!”
“Jika kau menghentikannya sekarang, itu belum
terlambat untukmu me_”
“Aku bilang hentikan!” Suhyun berteriak lebih
kencang, menepis tangan Bobby dan membuang tatapannya dari pria itu. “Ini bukan
urusanmu. Jangan menggangguku. Jadi pergilah!”
“Ini menjadi urusanku, karena alasanmu melakukannya
adalah aku.” Bobby masih menahan ketenangannya, kembali melangkah mendekati
Suhyun. “Aku harus menghentikanmu meneruskannya.”
“Hentikan Oppa! Ini tidak ada hubungannya denganmu,
dan jangan pernah berpikir aku melakukannya karenamu. Jangan campuri masalahku.
Pergi!”
“Jangan berbohong, aku melihatnya dari matamu,”
“Sudah aku bilang hentikan!” Suhyun menjerit
frustasi, melangkah mundur menjauhi pria itu. Bobby membaca ceritanya dengan
cepat, dan itu sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. “Aku sudah tidak
ada hubungannya lagi denganmu, begitu sebaliknya. Jangan ikut campur apa yang
aku lakukan. Pergilah tinggalkan aku, seperti yang sudah kau lakukan.”
Bobby membuang nafas kasar. Dugaannya benar. Lee
Suhyun melakukan ini karenanya. Dia memang gadis bodoh.
“Suhyun-ah, kau tahu aku tidak akan pernah minta
maaf untuk itu. Dan juga, tidak akan ada perubahan walaupun aku minta maaf
sekalipun. Aku tidak bisa bersamamu.”
Setelah itu keduanya diam. Angin berhembus, membelai
lembut tapi menusuk dengan dinginnya. Pagi cerah itu serasa mendung, seolah
petir menyambar terus menerus.
Suhyun mengepalkan tangannya, mencoba bertahan
walaupun satu pertahanannya roboh. Matanya tidak bisa menahan air yang keluar,
dia menangis. Dasar pria gila.
“Aku tidak akan berhenti. Dan aku tidak peduli.”
“Kau akan menjadi penjahat jika tidak berhenti. Kau
membuat Junhoe melupakan Jiho, kau sudah menghancurkan hati mereka, Suhyun-ah,”
“Aku tidak membuat Junhoe melupakan wanita itu, dia
sendiri yang tidak mengingatnya.”
“Tidak, kau melakukannya,”
Suhyun semakin mengepalkan tangannya, benar-benar
berusaha untuk menahan dirinya, mengendalikan dirinya. Dia tidak ingin kalah.
“Junhoe tidak mengingat Jiho, tapi kau membuatnya
tidak berusaha untuk mengingatnya dan melupakannya. Kau melakukan itu Lee
Suhyun!” Bobby setengah berteriak, tidak mengalihkan tatapannya dari Suhyun.
“Berhentilah,”
“Ini masalahku, jangan mencampurinya. Aku tidak akan
berhenti.”
“Lee Suhyun!”
Gadis yang juga bermata sipit itu terdiam. Teriakkan
atau yang lebih tepatnya benatakan Bobby menusuknya. Dua pertahanannya roboh.
“Diam! Aku tidak bisa berhenti. Apapun yang kau
lakukan, aku akan menyelesaikannya. Aku akan melakukan apapun yang aku
inginkan. Aku hanya ingin membuang sesak dan panas didadaku. Aku ingin kau
kembali, dan aku ingin Oppa bersamaku, memilihku, bukan pergi meninggalkanku.
Karena itu, aku harus menyelesaikannya, tidak peduli apa yang terjadi padaku
atau orang lain, bahkan aku juga tidak peduli kalau aku menyakiti orang lain.
Aku tidak pedili jika aku menjadi penjahat, aku tidak peduli_”
Plak.
Tamparan Bobby menghentikan Suhyun, membuat
teriakkan itu berhenti, membuat Suhyun tidak menahan air matanya lagi. Bobby
melangkah, menarik gadis itu kedalam pelukannya.
“Aku tidak peduli apa yang aku lakukan, karena aku
juga menyakiti hatiku...” Suhyun memejamkan matanya, membiarkan Bobby
memeluknya. Tiga pertahanannya roboh. Suhyun sudah tidak tahu harus apa untuk
mempertahankan dirinya lagi.
“Berhentilah, jangan biarkan hatimu hancur karena
apa yang kau lakukan,” Bobby mengusap kepala gadis itu, membiarkannya menangis,
mengeluarkan semua yang ditahannya. “Aku menyayangimu. Kau adalah adik
perempuan kecilku, yang selalu membuatku tertawa dan menemaniku. Tapi aku tidak
bisa bersamamuseperti apa yang kau inginkan. Suhyun-ah, berhentilah, jangan
lakukan apapun lagi, sudah cukup.”
Suhyun membuang nafas lega. Semua pertahanannya yang
tersisa roboh, dia kehilangannya.
***
Koo Junhoe masih menatap kursi kosong itu. Jika
sudah disana, tatapannya seolah terkunci dan tidak bisa beralih. Kim Jiho masih
tidak sekolah, bahkan ini sudah hampir dua minggu.
“Junhoe, kau mau menginap disini?”
Seorang murid pria datang, membuyarkan lamunan
Junhoe. Kelas sudah selesai dari setengah jam yang lalu, dan Junhoe masih duduk
di kursinya.
“Tentu saja tidak, aku akan pulang.” Junhoe membawa
tasnya dan beranjak.
“Kau dari tadi melamun disini?”
“Aku tidak tahu,”
“Baiklah, aku tidak mengerti yang kau katakan. Aku
pergi.” pria itu berlari pergi, meninggalkan Junhoe. Dia hanya datang mengambil
sesuatu yang tertinggal.
Junhoe menarik nafas dalam, menarik kursi itu lagi
sekilas, sebelum mulai melangkah menuju pintu.
“Junhoe...”
Kedua mata pria itu membulat, menatap gadis bertopi
yang tiba-tiba datang menghampirinya. Gadis itu membawa seikat bunga lagi di
tangannya.
“Aku tahu kau tidak mau melihatku, jadi maaf karena
mengganggumu lagi. Tapi aku pastikan ini yang terakhir.”
Gadis itu tersenyum. Dan itu adalah senyuman pertama
yang dilihat Junhoe sejak melihatnya ‘kembali’.
Junhoe membuang nafasnya pelan, menarik tatapannya,
menunduk, menghindari gadis itu.
“Jika kau begitu tidak ingin melihatku, tutup saja
matamu. Aku akan menyelesaikannya dengan cepat.”
Junhoe menutup matanya saat telapak tangan Jiho
membelai wajahnya lembut, menutup pandangannya. Junhoe merasakan sentuhan itu
dengan jelas, begitu lembut dan hangat. Kim Jiho memeluknya.
Junhoe diam, seolah terkena sihir menjadi patung.
Jantungnya yang berdetak tidak beraturan, perlahan kembali pada detak normal
seiring mengeratnya pelukan itu. Pelukan dan kehangatan Jiho membawa ketenangan
untuknya.
“Junhoe-ya, aku merindukanmu...”
Dalam ketenangan, dalam detak normal, jantung Junhoe
berpacu cepat. Suara lembut itu, terdengar menyenangkan dan menyakitkan
bersamaan di telinganya. Dia tidak tahu kenapa.
“Tapi ini adalah perpisahan kita. Aku akan menerima
permintaanmu, untuk tidak lagi muncul di hadapanmu.”
Isakan itu, Junhoe bisa merasakannya. Jiho menangis.
Hanya mereka berdua di ruang kelas itu, sepi, membuat ucapan pelan Jiho
terdengar seperti teriakkan frustasi yang membelah sore.
“Dan juga, aku akan menepati janjiku. Aku sangat
mencintaimu Junhoe-ya, dan akan selalu mencintaimu. Maaf sudah menyusahkanmu,”
Koo Junhoe terusik dengan perkataan itu, kata maaf.
Entah kenapa rasanya dia tidak ingin kehilangannya, dengan arti lain dia tidak
ingin Jiho benar-benar menerima permintaannya. Mungkin dia egois, tidak mau
menerimanya dan juga tidak mau ditinggalkannya, tapi Junhoe sadar melakukan
apa, dia kehilangan ingatannya.
“Aku selalu ingin kita bersama, selamanya. Dulu kau
juga selalu mengatakannya, kau ingin bersamaku selamanya. Tapi sekarang, kau
tidak sama, Jun. Keinginanmu berbeda, dan itu menyakitkan. Kau ingin aku
menghilang dari pandanganmu,”
Isakan itu semakin jelas terdengar, bahkan sekarang
Junhoe juga bisa merasakan detak kencang jantung dipelukannya.
“Jun, kau tahu? Aku menangis semalamam setelah
mendengar ucapanmu. Rasanya aku ingin menamparmu, dan juga memelukmu, menangis
dalam pelukan hangatmu. Kau jahat Koo Junhoe, aku memebencimu!”
Junhoe membuka mata saat merasakan kecupan di
bibirnya, dan sekarang dia melihat Jiho tersenyum di hadapannya, dengan air
mata yang menganak sungai di pipinya. Senyuman itu manis, tapi menyakitkan.
“Annyeong Koo Junhoe...”
Kim Jiho berlari, cepat, meninggalkan Junhoe
sendirian disana. Dan walaupun pria itu ingin berlari mengejarnya, nyatanya dia
hanya tetap berdiri ditempatnya seolah kedua kakinya menyatu dengan lantai. Kim
Jiho pergi.
***
Bobby merubah posisi duduknya, meliik sekilas
perempuan di sampingnya. Sore ini tidak terlalu dingin, dan langit masih indah
dengan sisa bias cahaya matahari yang baru saja pulang.
Sebenarnya, begitubanyak pertanyaan yang ingin dia
ucapkan, tapi tidak sopan namanya jika menyerang seseorang yang baru dikenal
dengan banyak pertanyaan. Jadi, Bobby hanya kembali menarik nafas dalam,
memperhatikan Kim Jiho.
“Emh...jadi, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?”
Jiho menarik tatapannya pada laki-laki itu,
menatapnya beberapa detik lalu kemudian mengangguk sebagai jawaban.
“Apa kau sangat menyukai topi? Kau selalu memakai
topi itu kemanapun,”
Jiho melepas topi yang dipakainya, tersenyum menatap
tulisan ‘Ju-Ne’ yang menghias topinya. Kemudian tatapannya perlahan teralih
pada langit.
“Tidak begitu. Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai
topi, rasanya sedikit merepotkan memakai benda ini di atas kepalaku.”
“Huh? Lalu kenapa aku selalu melihatmu memakai topi
itu?”
Jiho menarik nafas, membuangnya lambat. “Ini topi
milik Koo Junhoe, dan ‘Ju-Ne’ adalah nama panggilan yang dia berikan padaku
untuknya. Setelah Junhoe kehilangan ingatannya dan melupakanku, aku selalu
memakai topi ini kemanapun,”
Hening. Jiho menahan ucapannya. Bobby hanya menatap
perempuan itu dalam diam, dia yang mungkin sedang terbang dengan pikirannya
mengingat laki-laki itu.
“Dan aku menjadi aneh. Aku menganggap topi ini
adalah dirinya. Dengan aku memakainya, maka aku akan selalu bersamanya.
Walaupun yang sebenarnya dia melupakanku.”
Bobby menarik nafas dalam, merasa bersalah karena membicarakan
topi itu. Tentunya dia tidak akan menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan
laki-laki bermarga Koo itu, tapi dia tidak tahu kalau semua berhubungan
dengannya.
“Emh begitu ya. Dan menurutku itu tidak aneh, kau
hanya menggantikan se_”
“Bobby-sshi,”
Bobby menghentikan ucapannya, menatap perempuan itu
lebih dalam. Merasakan sesuatu yang baru dia sadari, darinya. Perempuan itu
menatapnya. Dan sesuatu itu adalah senyuman. Kali ini Kim Jiho tersenyum,
padanya, dengan senyuman miliknya. Entah kenapa, rasanya sore ini, gagis
bertopi itu tidak seperti biasanya. Dia lebih tenang, hangat, dan terlihat
lega.
“Ya! Aku lebih tua darimu. Panggil aku Oppa!
“Ke-kenapa?”
“Kau harus menghormati yang lebih tua darimu. Jadi,
panggil aku Oppa.”
“Baiklah. Bobby Oppa,”
Dia tersenyum lagi. Rasanya seperti pagi hari yang
indah. Bunga yang mekar, dan hangat matahari pagi yang baru datang. Perasaan
itulah yang dirasakan Bobby dari senyuman Kim Jiho. Gadis bertopi itu berubah.
“Hey... a-apa terjadi sesuatu padamu?”
“Sesuatu seperti apa maksudnya? Aku baik-baik saja.”
Bobby menarik nafas lebih dalam. Dia benar-benar
merasakan sesuatu pasti sudah terjadi padanya, perempuan itu bukan lagi
dirinya.
“Bobby Oppa, aku minta maaf,”
“Maaf? Untuk apa kata itu kau berikan padaku?”
“Maaf karena sudah menamparmu waktu itu, aku tidak
bermaksud untuk melakukannya,”
“Baiklah, sudah, tidak apa-apa. Aku sudah
melupakannya. Lagipula itu memang salahku.”
“Terima kasih.”
Bobby sedikit melebarkan tatapan dari mata sipitnya.
Kim Jiho benar-benar mekar dengan senyumannya sekarang. Senyum yang indah.
Jantungnya berdetak lebih, lebih, dan lebih kencang setiap detik dari tatapan
mereka.
“Kim Jiho, kau- ... a-apa benar tidak terjadi
sesuatu padamu? Kau baik-baik sa_”
“Senang bisa bertemu denganmu, Bobby Oppa. Terima
kasih.”
“Ji- Jiho....”
Dia masih bisa melihatnya, tapi rasanya dia sudah
kehilangannya. Entah pandangannya yang tidak lagi menemukannya, atau dia yang
tiba-tiba menghilang. Itu perasaannya. Sore itu sepi.
***
Lee Suhyun mengeratkan genggaman tangannya pada
Bobby, menarik nafas bersama dengan menguatkan dirinya. Ini yang harus dia
lakukan, jadi dia tidak boleh lagi mengacaukannya.
Sudah cukup baginya kalau Bobby masih menyayanginya,
dia tidak boleh menjadi gadis serakah yang menghancurkan hati orang lain untuk
keegoisannya. Dan karena Bobby pula, dia menadapat keberanian untuk berhenti
dan minta maaf.
Yah, dia akan mengatakan semuanya dan minta maaf
pada mereka. Itu rencananya pagi ini. Dia sudah meminta Koo Junhoe datang ke
danau itu, karena pasti Kim Jiho ada disana. Suhyun akan bersujud mengatakan
maaf sampai suaranya habis dan lebih dari itu. Karena dia benar-benar harus
minta maaf pada mereka berdua.
“Oppa, apa Jiho akan ada disana?”
“Dia pasti disana. Kemarin aku bertemu dengannya,”
“Baiklah..” Suhyun menarik nafas dalam.
“Tenanglah, jika kau sungguh-sungguh, aku yakin
mereka akan menerima maafmu.”
Suhyun mengangguk, mencoba percaya dengan ucapan
Bobby. Mereka masih berjalan menuju danau itu.
Tidak seperti biasanya, danau yang sepi itu sekarang
ramai. Ada kerumunan orang disana. Bahkan beberapa poli juga ada disana. Mereka
membicarakan sesuatu, dan pastinya itu penting jika sampai melibatkan polisi.
“Permisi, boleh aku tahu apa yang terjadi?” Bobby
bertanya pada seseorang diantara kerumunan itu.
“Lihatlah, seseorang tenggelam disana,”
Bobby langsung menarik tatapan kearah yang ditunjuk
orang itu. Disana, seseorang terbaring. Tepatnya, seorang perempuan berambut
panjang terbaring, pucat dan kaku. Dia sudah meninggal.
Bobby melangkah semakin mendekat. Penglihatan
matanya mengenali orang itu, tapi tidak mungkin, dia harus memastikannya lebih.
Bobby semakin mendekat.
“Kami menemukan gadis ini sudha mengambang di
danau,” ucap seseorang pada polisi.
“Dari kondisi mayatnya, sepertinya dia sudah
meninggal dari kemarin. Apa tidak ada seorangpun yang mengenalnya?” Polisi itu
mengedarkan tatapan, mencari kemungkinan seseornag yang mengenal mayat itu.
“Tidak. Kami tidak mengenalnya,”
“Aku pernah melihatnya, tapi sama sekali tidak
mengenalnya. Sepertinya dia tinggal di sekitar sini,”
Beberapa orang menjawab. Mereka masih saling
bertanya tentang siapa mayat perempuan itu. Perempuan berambut hitam panjang.
Bruk.
Bobby terjatuh. Kakiknya seolah tiba-tiba kehilangan
tulang untuk menyangga tubuhnya, nafasnya tercekat, dan matanya perih melihat
itu. Melihat perempuan yang kemarin sore bersamanya dan sekarang sudah
terbaring menjadi mayat. Kim Jiho.
“Ji- ... Ki- Kim Jiho!” Bobby benar-benar sesak, dia
tidak percaya dengan yang matanya lihat, itu pasti bohong. Mayat perempuan itu
Kim Jiho. Perih, kedua matanya perih melihat itu.
Juga seseorang yang masih berdiri disamping Bobby,
Lee Suhyun. Perempuan itu membatu. Berusaha membuat dirinya terus menrik dan
mengeluarkan nafas dengan benar, tapi mayat di hadapannya seolah membuatnya
lupa bagaimana cara bernafas.
“Nak, apa kau mengenal perempuan ini?” seorang
polisi menghampiri Bobby.
***
Koo Junhoe masih berdiri di depan danau itu,
membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya. Dia tidak peduli.
Dia merasa seseorang menemaninya, menggenggam
tangannya, membantu dirinya mengingat sesuatu yang dia lupakan. Perlahan dia
merasakannya. Dia merasakan seseorang memeluknya, ditengah hujan dingin itu,
pelukan hangatnya begitu nyaman. Kehangatan yang sangat dia kenal. Dan
sekarang, sangat dia rindukan.
“Kim Jiho...”
Koo Junhoe membuang nafas lega, ingatannya kembali.
Yang dia lupakan adalah Kim Jiho, kekasihnya.
-Fin-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar