Begini, entah kenapa
tiba-tiba Han Yunchi kembali memintaku membuatkannya sebuah FF. Dan entah
kenapa, dia mendadak mau membaca cerita yang aku tulis. Padahal, dia selalu
mengatakan ‘TIDAK’ dengan kerasnya setiap kali aku meminta. Jadi aku tetap
tidak tahu kenapa, dan ada apa. Ah sudahlah lupakan. Han Yunchi is my little
sister.
Setelah dia meminta
cerita dengan cast Jeon Wonwoo, Kim Jinhwan-Wonho, dan sekarang dia meminta
Park Jimin-Vernon.
Oh mungkinkah? Sekarang
dia sudah mendapat pencerahan untuk melirik tulisan-tulisanku? Mungkinkah? Atau
jangan-jangan.... dia adalah penggemar rahasiaku sebenarnya, dan selama ini dia
malu untuk mengakuinya? Ah itu bisa terjadi. Huahaha.
“Ya! Han Yunchi! Jangan
mentertawakanku saat membaca ini! Awas!”
Baiklah, sudahi saja
asal muasal coretan ini. Bukankah seseorang yang datang kesini adalah untuk membaca
tulisanku, jadi semua ocehanku tidak penting. Geurae geurae, silahkan membaca.
|| Author:
Cifcif Rakayzi ||
|| Tittle: 8p.m
|| Genre: Romance, Hurt || Rate: 15 ||
|| Length: Oneshot
|| Cast: Park Jimin, Han Yunchi, Vernon ||
|| Disclaimer: cast
milik Tuhan YME, cerita oleh Cifcif-Han Yunchi ||
||
------------------------------------------------------------------------------------------
||
“Aku merindukannya....”
“Ish. Menjijikan!” Kim
Taehyung hanya bisa memutar bola matanya melihat tingkah pria bermarga Park
itu. Seharian ini pria yang bersamanya hanya duduk, menempelkan sebelah pipinya
pada meja dan bergumam tidak jelas. Seperti mayat hidup.
“Sudah hampir seminggu sejak
aku terakhir bertemu dengannya, dia juga tidak membalas pesanku, mengangkat
teleponku, dan bertemu denganku,”
“Ya Park Jimin!
Berhentilah mengoceh, kau membuat semangat belajarku hilang. Jika kau
merindukannya, datangi dia dan katakan kau merindukannya. Bukankah itu mudah?”
“Ani, aku sudah
mencobanya.”
“Lalu?”
“Dia tidak mengatakan
apapun, hanya tersenyum kemudian perlahan menghilang,” Jimin merubah posisinya,
menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Seseorang disana berhasil
membuatnya setengah gila seperti ini.
“Ck. Kau gila. Kalau
begitu, berhenti memikirkannya dan kerjakan tugasmu!” Taehyung menunjuk
setumpuk buku tebal yang masih rapi tersimpan dihadapan mereka. Karena mood
Jimin yang tidak bagus, keduanya tidak bisa mengerjakan satu tugaspun hari ini.
“Taehyungie, apa aku
tidak tampan?” Jimin langsung memutar tubuh Taehyung menghadapnya, membuat
mereka bertatapan.
“Emh kurasa memang
tidak, tapi mungkin bukan itu alasannya. Kau dan dia sudah terlalu lama
bersama, kalian berdua bahkan sudah terlalu banyak tahu tentang masing-masing.
Jadi mungkin dia tidak melihatmu seperti laki-laki.”
“Apa maksudmu? Apa dia
melihatku seperti wanita?” Jimin mengerutkan keningnya, membuat pria
dihadapannya menghela nafas frustasi.
“Bukan begitu, maksudku
dia tidak menganggapmu sebagai seseorang yang bisa dia sukai dan dijadikan
pacar, mungkin dia hanya menganggapku sebagai kakaknya.”
“Benarkah?”
“Molla. Itu hanya
menurutku, jadi lupakan dia dan kerjakanlah tugasmu, agar aku bisa cepat pulang
dan tidur. Kau tahu betapa melelahkannya berada disampingmu saat kau sedang
gila seperti ini?” Taehyung membuka bukunya juga buku Jimin, memberikan alat
tulis pada pria itu, dan membulatkan matanya untuk memaksa Jimin mengerjakan
tugasnya.
“Padahal dia hanya
anak-anak, tapi aku bisa gila seperti ini,”
“Lupakan dia sekarang,
Park Jimin!”
“Aish ara ara!”
Dan akhirnya, setelah
beberapa paksaan keluar dari pria bermarga Kim, pria bermarga Park bisa juga
mengerjakan tugasnya. Membuat waktu mereka menjadi lebih berguna daripada
memikirkan seseorang yang jauh disana. Dan juga, mempercepat waktu pulang untuk
pria bermarga Kim.
“Sunbae! Jimin Sunbae!”
Jimin menoleh. “Oh
Yerin-ah?” dia tersenyum pada seorang gadis imut yang berjalan menghampiri
mereka juga dengan senyuman merekahnya.
“Aish. Ada lagi yang
menganggu” gumam si pria bermarga Kim kesal. Dia dan Jimin harus segera
menyelesaikan tugas itu sebelum sore, dan dia sudah cukup menahan amarahnya
karena seseorang yang menari dalam pikiran Jimin.
“Apa aku boleh
bergabung? Aku tidak menganggu?” gadis itu begitu saja duduk diantara mereka.
“Sangat mengganggu,
jika boleh jujur.” pria bermarga Kim bergumam pelan.
“Ne?” dia mengernyitkan
alisnya saat mendengar ucapan Taehyung, membuat pria itu hanya tersenyum dengan
tatapan aliennya.
“Ah tentu saja tidak
menganggu... haha.” dan pria bermarga Park itu hanya tertawa, tidak peduli
sumpah serapah apa yang sedang temannya ucapkan sekarang karena kembali menunda
tugasnya.
***
Pria berotot dengan
perut kotak-kotak itu kembali menghembuskan nafas untuk kesekian kalinya, sudah
hampir lima belas menit dia berdiri di depan gerbang itu menunggunya, tapi yang
di tunggu belum juga terlihat.
“Haksaeng, apa kau
sedang menunggu pacarmu?”
Park Jimin menoleh,
melihat pria tua yang memakai seragam penjaga bicara padanya, dan sedetik
kemudian dia menggeleng cepat. Menepis pertanyaan itu. “Tidak, bukan pacarku.
Aku hanya sedang menunggu adikku, yah benar... adikku, haha.” dia tertawa
kikuk.
“Eoh benarkah, kukira
kau sedang menunggu pacarmu,” Ahjusshi penjaga itu tersenyum menggoda.
“Aniya, dia bukan
pacarku,” alhasil, Jimin hanya tersenyum tidak jelas. Mungkin, jika
berkesempatan, dia akan berdiri disini lagi dan menunggu gadis itu sebegai
kekasihnya. Mimpi.
“Kau sudah menunggu
lama, tapi sekolah mungkin selesai lima menit lagi,”
“Mwo?” Jimin
mengerutkan keningnya menatap pria itu. “Kenapa Ahjusshi tidak mengatakannya
dari tadi? Tau begitu, aku tidak akan datang secepat ini,”
“Kau tidak bertanya
padaku, jadi apa yang harus aku katakan padamu?”
“Aigo. Aku sudah
membuang waktuku dari tadi disini.” Jimin menghembuskan nafasnya kasar, melirik
jam di pergelangan tangannya dan gedung sekolah itu berganntian.
Tidak ada pilihan lain,
selain menunggu lagi. Jika dia memang mau menjemput gadis yang sudah membuatnya
gila akhir-akhir ini.
Tapi kemudian,
penantiannya selesai. Murid-murid sekolah itu mulai keluar. Dengan cepat dia
merapikan penampilannya, memasang senyum terbaiknya untuk menyambut seseorang
yang dia tunggu.
Dia datang.
“Jimin Oppa?”
Seorang perempuan
menghampiri pria itu, menatapnya aneh. Pasalnya, pria yang juga tetangganya
itu, sangat tidak mau untuk datang ke sekolahnya, apalagi untuk menjemputnya.
Jadi ini adalah peristiwa mengejutkan.
“Annyeong Yunchi-ya,”
Jimin melebarkan senyumannya.
“Apa yang sedang kau
lakukan disini? Tidak mungkin Oppa datang untuk menjemputku kan?”
“Aku memang datang
untuk menjemputmu. Apa kau akan pulang sekarang?”
“Woah... daebak! Apa
yang terjadi padamu sampai kau datang menjemputku?”
“Aish. Sudah, jangan
banyak bicara. Masuklah,” Jimin membuka pintu mobilnya, memaksa Yunchi masuk.
Dan mereka pergi.
--- ---
Mungkin hari ini hujan
tidak akan turun, karena sore ini, langit masih cerah dengan sinar matahari.
Angin yang berhembus perlahan, anak-anak yang bermain di taman, juga bunga-bunga
yang masih mekar, menghias sore itu.
Dan di salah satu kursi
taman itu, mereka berdua masih bercanda dengan eskrim di tangan masing-masing.
Jimin membawa gadis itu duduk di taman ini.
“Hentikan! Kau merusak
wajah tampanku,” Jimin menggeser duduknya, menjauh dari Yunchi yang terus
berusaha mengotori wajahnya dengan eskrim.
“Wajah mana yang Oppa
kira tampan itu?”
“Ah kau ini, apa kau
tidak tahu kalau di kampus banyak wanita yang mengatakan aku tampan?”
“Mungkin mereka hanya
berbohong, tidak usah diambil hati. Jalani saja apa apadanya... haha.”
“Ya!” Jimin sedikit
berteriak, mengurungkan niat Yunchi untuk kembali mengoleskan eskrim pada
pipinya. Pria itu marah.
“Ah baiklah, aku tidak
akan melakukannya lagi.”
Mereka tenang sekarang.
Jimin kembali menggeser duduknya, mendekati Yunchi. Mereka menghabiskan eskrim
yang tersisa di tangan masing-masing.
“Keundae Oppa,
sebenarnya kenapa tiba-tiba datang menjemputku?”
“Aku tidak menjemputmu,
tadi hanya kebetulan lewat, jadi aku sekalian menunggumu saja.”
“Em geurae. Kukira Oppa
merindukanku,”
Yunchi tertawa pelan,
membuat Jimin diam dengan alasan itu. Sebenarnya Jimin memang datang karena
itu, tapi rasanya sedikit memalukan jika dia mengatakannya. Jadi, berbohong
sedikit membantu.
“Yunchi-ya, apa kau
benar-benar sibuk dengan sekolahmu?”
“Ya! Apa maksudmu?” Yunchi melotot menatap Jimin,
meminta arti lain untuk pertanyaan itu. “Aku harus membuat banyak persiapan
untuk ujian, dan aku benar-benar sibuk. Oppa pikir aku hanya bermain di
sekolah? Aigoo menyebalkan...”
“Bukan itu maksudku,
aku hanya mencari tahu kenapa kau menghilang akhir-akhir ini. Sulit sekali
menemukanmu,”
“Untuk apa kau
mencariku?”
Jimin menelan ludahnya,
mengalihkan tatapannya. Ini memalukan. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu
kemana Han Yunchi yang selalu menempel padaku,”
“Oppa, siapa yang
menempel padamu? Sekarang aku sudah besar, aku juga sibuk dengan kehidupanku
sendiri,”
“Ya!” Jimin menjitak
kening Yunchi, membuat gadis itu meringis. “Baiklah terserah kau saja. Tapi
jika kau merindukanku, kau bisa kapan saja datang padaku,”
“Anio, itu tidak akan
lagi.” Yunchi membuang pandangannya, menelan eskrim terakhirnya.
“Kenapa? Kau sudah
punya pria lain?”
“Mwo?” Yunchi hampir
tersedak dengan ludahnya sendiri, tapi dia bisa kembali menguasai dirinya. “Kenapa
bicara seperti itu, memangnya kau siapa? Lagipula Oppa bukan priaku.”
Jimin mengeluarkan
tatapan laser padanya, lalu mengalihkan tatapan. Itu benar, tapi rasanya,
setelah mereka bersama sejak kecil, gadis itu terasa seperti miliknya.
Kemudian hening. Mereka
sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Yunchi-ya,” Jimin
kembali bersuara, memecah keheningan mereka.
“Apa lagi?”
“Sebenarnya ada yang
harus aku katakan padamu, kau mau mendengarnya?”
“Ah benar, aku juga
harus memberitahu Oppa sesuatu. Tapi sekarang aku masih belum tahu bagaimana
hasilnya, jadi bisa kau tunggu itu sampai aku mendapatkannya?”
“Memangnya apa?”
“Aku akan mengatakannya
nanti, jadi katakan apa yang ingin Oppa katakan nanti. Oke?” Yunchi tersenyum,
mengacungkan kelingkingnya menunggu jawaban Jimin.
“Baiklah...” Jimin
menghela nafas, mengaitkan kelilngkingnya dengan kelingking gadis itu. Dia akan
menunggu.
***
Mobil hitam itu
berhenti, dan seperti biasa, sang supir akan keluar setelah membuka pintu
mobilnya. Park Jiminpun keluar.
Senyuman merekah
langsung menghias wajahnya saat kedua manik mata itu melihatnya, Han Yunchi.
Gadis itu baru saja keluar dari rumahnya, dengan wajah murung dan dua buku
ditangannya.
“Yunchi-ya...”
Tapi senyuman merekah
itu menyusut, dan perlahan menghilang. Han Yunchi tidak membalas senyumannya
seperti biasa, dia hanya diam dengan mata sembab. Sepertinya sore ini tidak
terlalu baik untuk gadis itu.
“Kenapa, apa kau
sakit?” Jimin melangkah merapatkan tubuhnya dengan pagar rumah, berusaha
menjangkau Yunchi yang masih berdiri diam di depan pintu rumahnya.
“Tidak apa-apa, aku
baik-baik saja.” Yunchi menggeleng pelan, berjalan membuka pagar rumahnya.
“Emh.. bohong. Apa kau
mau aku belikan eskrim? Aku bisa membuatmu tertawa lagi, jadi ayo kita pergi ke
tam_”
“Oppa...”
Langkah Jimin tertahan
saat Yunchi menghentikan langkahnya dan berbalik, menatapnya. Itu ekspresi yang
tidak asing untuknya, pria itu tahu semua arti ekspresi gadis yang bisa
dikatakan tumbuh bersamanya itu. Dan ekspresi gadis itu sekarang, buruk.
Mungkin terjadi sesuatu padanya.
“Maaf, sepertinya hari
ini aku harus sendiri.”
Jimin terdiam, kakinya
tertahan untuk mengejar Yunchi yang berlalu melewatinya. Sesuatu yang terjadi
itu pasti buruk, karena Yunchi tidak pernah berkata seperti itu padanya. Itu
pertama kalinya dia tidak ingin ditemani Jimin, pria yang selalu menjadi daftar
pencarian nomor satu baginya. Tapi sepertinya itu sudah berubah.
Dan, gelisah. Jimin
tidak bisa menahan perasaan itu, dia takut jika gadis itu mulai menjauh
darinya, dan berakhir tidak memutuhkannya lagi. Itu mimpi buruk yang selalu
ditakutinya.
***
Kantung mata dan warna
hitam itu muncul, semalaman dia tidak bisa tidur, bahkan untuk hanya memejamkan
matanya saja. Dia gila dengan perasaannya sendiri. Dan karena itu, pagi ini dia
harus melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tenang.
Pagi ini Park Jimin
menyuruh Ibunya membuatkan rise omelete, makanan kesukaan Yunchi. Gadis itu
sangat menyukainya, dan hanya masakan Ibunya dan Ibu Jimin yang dia sukai. Pagi
ini Jimin akan mengantarnya sekolah.
Jimin memasang
senyumannya, mengetuk pintu, dan bersiap mengucapkan kata bujukan yang sudah
dirangkainya semalaman.
“Oppa?” Yunchi membuka
pintu, menatap pria itu aneh karena mengeluarkan senyuman mengerikan.
“Annyeong. Aku datang
untuk memberimu rise omelete dari Eomma, dan juga mengantarmu sekolah.”
“Apa? Kenapa
tiba-tiba?” Yunchi membuka pintu lebih lebar, menatap Jimin menyeluruh dan
berpikir. Itu mengejutkan, karena selama ini Jimin tidak pernah mau
mengantarnya sekolah dengan segudang alasan, tapi tiba-tiba pria itu jadi gila
seperti ini.
“Tidak tiba-tiba, aku
hanya mengabulkan permintaanmu yang dulu-dulu, yang belum sempat aku penuhi.”
“Woah daebak!
Sepertinya Oppa kerasukan roh lagi,”
“Hey! Jangan mengataiku
seperti itu lagi, aku sama sekali tidak pernah kerasukan roh seperti
pikiranmu!” Jimin menajamkan tatapan matanya, menyodorkankan kotak bekal
ditangannya.
“Tapi Oppa bersikap
aneh, jadi mungkin benar kerasukan roh,” Yunchi mengambil kotak bekal itu,
melangkah mendekati Jimin.
“Tidak! Aku hanya ingin
melakukan sesuatu yang bisa membuatmu tidak menjauh dariku,”
“Huh?”
“Kemarin kau bilang
tidak mau kutemani, jadi aku pikir kau akan menjauhiku dan me_”
“Jimin Oppa,”
Ucapan Jimin terhenti,
Han Yunchi memeluknya.
“Maaf kemarin aku
berkata seperti itu, maafkan aku. Hanya saja... kemarin aku tidak_”
“Aku mengerti,”
Yunchi menghentikan
ucapannya, diam dengan pelukan Jimin. Pria itu memeluknya erat.
Dan ternyata, semua
pikiran buruk yang dipikirkannya semalaman ini, tidak semuanya benar. Karena
seperti dugaannya, Yunchi tidak berniat menjauhinya, gadis itu hanya sedang
tidak baik. Dan ini hanya masalah keegosisan Jimin dengan perasaannya.
“Yunchi-ya, aku ingin
mengatakan sesuatu padamu,”
“Oppa,”
Jimin mengangguk pelan,
masih dalam pelukan. Walau tidak bisa lagi menahannya karena rasa gelisah, tapi
Jimin akan menunggu sampai Yunchi mau mendengar apa yang ingin dikatakannya.
***
Entah kenapa, siang ini
turun hujan. Awan abu yang menurunkan jutaan tetes air dari langit, dan membawa
kedinginan menusuk kulit. Hujan ini deras.
Seorang laki-laki
sengan rambut hitam sedikit bergelombang, berjalan memasuki ruang seni. Ruangan
sepi yang masih diisi seseorang. Perlahan, laki-laki itu menghampirinya,
sesorang perempuan yang duduk memoles kanvas putih dengan kuasnya.
“Aku sudah menerima
semua suratmu, dan juga membacanya. Dan aku juga membalasnya, tapi apa kau
masih memintaku menjawabnya?”
Perempuan itu berhenti
menggerakkan tangannya melukis, menarik nafas sangat dalam, sampai rasanya itu
sesak. Dia menahan untuk tidak membawa kedua matanya menatap laki-laki itu.
“Emh.”
Laki-laki itu juga
menarik nafas panjang, saat perempuan itu bergumam menjawab. Dia menyimpan
kotak kecil yang dibawanya di atas meja, di samping perempuan itu.
“Sebenarnya aku tidak
ingin mengatakan ini, karena tadinya kau tidak mau mendengarnya. Tapi kau terus
memberiku suratmu, dan sepertinya memaksaku untuk mengatakan langsung padamu.
Aku tidak me_”
“Aku akan terus menulis
surat untukmu!” perempuan itu berdiri, memberanikan matanya untuk menatap laki-laki
itu. “Aku akan terus mengatakan perasaanku padamu dalam surat, dan terus
menulisnya sampai kau memberi jawaban yang aku inginkan.”
“Tidak boleh,”
“Ke-kenapa?” sekuat
tenaga, perempuan itu menahan air matanya yang mendesak keluar. Masih berusaha untuk
menatap laki-laki itu.
“Aku takut kalau aku
tidak akan merubah jawabanku, dan membuatmu terus melakukannya sampai menyakiti
dirimu sendiri. Jadi berhenti menulisnya, aku tidak bisa menerimamu. Maaf.”
Perlahan, laki-laki itu
berbalik dan mengangkat langkah. Tapi tangan perempuan itu menarik tangannya,
menahan langkahnya.
“Ka-kalau begitu, bisakah
kau jangan kembalikan surat ini padaku? Bisakah kau menyimpannya, karena ini
dariku. Bisakah?”
Laki-laki itu menyimpan
kembali kotak yang diberikan lagi padanya, dia menolak. Kotak itu berisi semua
surat yang diberikan padanya dari perempuan itu.
“Maaf, aku tidak bisa
menyimpannya jika aku tidak bisa menerimamu. Lebih baik seperti ini, aku tidak
ingin membuat buruk perasaanmu lebih dari ini. Maaf.”
Brak. Kotak itu jatuh,
bersama perginya laki-laki yang meninggalkannya. Kertas-kertas surat itu
sekarang berserakan, membuat jelas terlihat kalau itu dicampakkan. Dan dia
menangis. Perempuan itu tidak bisa menahannya lebih lama, dia mengeluarkan air
matanya.
“Ya! Vernon! Sekarang
bagaimana? Apa yang harus aku lakukan dengan perasaan yang terpantul kembali
padaku? Vernon...”
Dibalik pintu,
laki-laki itu masih berdiri. Merutuki dirinya sendiri, mendengar isakkan
perempuan yang dibuatnya menangis. Bukankah namanya jahat jika laki-laki
membuat perempuan menangis? Tapi mungkin itu lebih baik.
***
Sore ini pun, hujan
masih turun berjuta-juta tetes, setelah membuat semuanya basah, air dingin dari
langit itu masih saja datang. Tidak ada siapapun yang bisa menghentikannya.
Lalu, laki-laki dengan
rambut sedikit bergelombang ini, yang belum tepat dua bulan pindah kesini,
bahkan dia masih belum hafal jalan pulang kerumahnya, malah basah-basah
berjalan dalam hujan. Berjalan pelan mengikuti seorang perempuan dari belakang.
Tanpa suara, hanya berjalan mengikuti perempuan itu, melihatnya menyatukan air
mata dengan air hujan yang membasahinya.
Sepertinya dia gila
karena melakukan hal semacam ini.
Vernon, nama laki-laki
itu adalah Vernon. Seseorang yang baru pindah dari New York, dan sekarang sudah
membuat seorang perempuan dari kelasnya menangis.
Vernon mengusap
wajahnya, menyingkirkan air hujan yang terus jatuh padanya. Dia sebenarnya
tidak harus melakukan ini, tapi sesuatu dari sisi lain dirinya membawa kakinya
untuk melakukan ini, mengikuti perempuan itu. Apa yang harus dia katakan jika
perempuan itu melihatnya, laki-laki jahat yang sudah membuatnya menangis
ternyata mengikutinya. Dia sudah gila.
Vernon menahan langkah
kakinya, mengurungkan niat untuk berlari saat perempuan itu jatuh. Dia tidak
usah menghampri dan menolongnya, bukankah dia laki-laki jahat? Jadi, hanya diam
adalah pilihan tepat. Tapi perempuan itu tidak kembali berdiri, masih terduduk,
dan sekarang menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sepertinya dia masih
menangis.
Tidak, ini tidak benar.
Hanya diam bukan pilihan, tapi menghindar. Vernon menghembuskan nafasnya lelah,
melangkah berlari menghampiri perempuan itu. Tidak peduli apa yang terjadi
nanti, dia setidaknya harus menolong orang yang sudah dia jahati.
“Jangan menangis,”
Perempuan itu
mengangkat wajahnya, menatap Vernon yang mengulurkan tangannya.
“Aku minta berhentilah
menangis. Kau tidak harus menangis karena orang sepertiku, kau harus pedulikan
dirimu sendiri.” Vernon menarik tangan perempuan itu berdiri.
“Kenapa kau tidak bisa
jika padaku?”
Vernon memalingkan
tatapannya, menghindari mata perempuan itu. “Aku tidak bisa mengkhianati
seseorang dalam hatiku. Maaf.”
“Apa karena kau
membenciku?”
“Tidak, aku tidak
membencimu. Tapi aku tidak bisa.”
“Kau jahat!”
Perempuan itu menepis
tangan Vernon darinya, berlari menginggalkan laki-laki yang baru saja diteriaki jahat olehnya. Dia berlari secepat
dia bisa, tapi sayangnya, kakinya tidak bisa lebih kuat berlari ditengah hujan
seperti itu, dia jatuh lagi. Dia menangis.
“Yunchi-ya...”
Hangat. Pelukan hangat
ditengah dingin tetesan hujan. Perempuan itu melepaskannya, menolak pelukan
hangat seseorang yang datang padanya.
“Lepaskan!”
“Yunchi-ya, sudah, kau
akan sakit jika terus seperti ini. Ayo pulang bersam_”
“Jangan sentuh aku!”
Park Jimin diam saat
perempuan itu menjerit, melepas sesuatu yang mengganjal dalam air matanya.
Jimin melihat ini dari tadi, saat Yunchi berlari keluar dari sekolah dan
seseorang mengikutinya diam-diam. Park Jimin melihat itu.
“Oppa, kenapa aku tidak
bisa? Apa aku terlalu buruk untuknya? Atau aku memang tidak pantas untuknya?
Kenapa?”
“Yunchi-ya tenanglah,
kau sama sekali tdak buruk,”
“Lalu apa? Kenapa dia
menolakku?”
Tidak ada jawaban.
Jimin tidak mengucapkan jawaban itu dari bibirnya. Dia tidak tahu yang mana
yang harus diucapkan, antara laki-laki itu atau perasaannya.
“Berarti itu karena aku
terlalu buruk...”
“Ya!” Jimin kehilangan
kendali dirinya. Dia menarik tangan Yunchi, membawa perempuan itu mendekat
padanya. “Berhenti menangis karena laki-laki itu, kau sama sekali tidak buruk
Han Yunchi. Itu karena laki-laki itu memang tidak pantas untukmu. Jadi aku
mohon, berhentilah menangis karena... ka-karena...” itu sedikit berat. Jimin
tidak bisa melanjutkan ucapannya.
“Karena apa? Karena
Oppa menyukaiku? Atau Oppa akan mengatakan karena ada kau yang mencintaiku dan
tidak akan pernah membuatku menangis?”
Nafas Jimin tercekat.
Dia sama sekali tidak tahu kalau perasaannya sudah diketahui.
“Yu-yunchi-ya.. kau
tahu?”
“Park Jimin adalah
Kakak yang aku sayangi, aku tidak pernah berpikir bisa tertawa dan menangis
jika kehilangannya, aku benar-benar menyukaimu sebagai seseorang yang akan
selalu melindungiku. Tapi, aku egois jika terus berfikir seperti itu. Tapi
juga, aku tidak bisa menerima perasaan lebihmu padaku.”
“Yunchi-ya, aku
benar-benar mencintaimu,”
“Tidak, aku tidak mau
itu! Jangan lebihkan perasaanmu padaku, aku mohon,”
“Tidak bisa, aku sudah
mengisi hatiku denganmu,”
“Berhenti melakukannya,
aku tidak ingin Oppa seperti itu. Jangan katakan cinta itu lagi!”
Jimin diam, perlahan
melepas tangannya dari Yunchi. Menarik dalam-dalam nafasnya, menahan sesak itu.
“Kalau begitu, aku
sepertinya aku harus mati, jika ingin aku berhenti mengisi hatiku dengan cinta
padamu.”
“Tidak, Oppa berhenti!”
“Aku mencintaimu Yunchi-ya,
sejak dulu, dan sampai kapanpun. Hatiku untukmu, tidak peduli kau menolaknya.
Aku benar-benar mencintaimu_”
“Cukup! Hentikan!
Jangan bicara apapun lagi padaku!”
Han Yunchi menjerit,
berlari cepat meninggalkan Park Jimin. Dia menyukai laki-laki dari New York
itu, dan dia tidak ingin kehilangan Kakak yang selalu melindunginya. Yunchi
berlari kemana kakinya melangkah, tidak peduli ini di jalan raya yang tidak
sepi.
Lampu merah itu
menyala, menggantikan lampu hijau yang berarti untuk menyebrang. Dan kaki itu
terus berlari.
“Aku mencintaimu!”
Brraakk. Sebuah benda
beroda empat yang dikemudikan seseorang, menghantamnya. Benda kuat itu
menghantam tubuh ramping itu, tapi si kotak enam itu juga ikut.
***
Malam ini rasanya udara
tidak lagi dingin, mungkin karena musim panas hampir datang. Langit hitam juga
cerah, dengan sinar samar rombongan bintang. Itu indah.
Dan dia, masih duduk di
ayunan itu, sendirian. Sesekali tersenyum kecil mengingat kenangan masa
lalunya. Tapi senyuman itu tidak pernah terasa menyenangkan, masih saja
menyakitkan. Entah karena kenangannya terlalu indah, atau perpisahannya yang
terlalu buruk.
“Dasar bodoh! Harusnya
kau tidak usah menuruti ucapanku, jika seperti ini jadinya. Jika kau
benar-benar harus pergi seperti ini. Bodoh. Dasar Park Jimin bodoh! Ah... aku
merindukanmu, Oppa.”
Dia tersenyum lebar,
tidak peduli dengan air matanya. Dia hanya mengayunkan ayunannya, berayun pelan
dan kencang, membiarkan angin berhembus padanya.
-Fin-
Emh.. maaf ya aneh FF
nya. Beneran maaf banget. Jadi terima kasih banyak yah yang udah baca ini
sampai akhir, semoga diberi kebahagiaan di FF lain.
Dan juga khususnya
untuk Han Yunchi-sama, hountoni gomenasai. FF nya jadi aneh begini, padahal Yunchi
nunggunya lama banget kan, tapi gak memuaskan yah? Maaf bangeud yah
Yunchi-sama. Tapi jangan kapok loh, kan tahu sendiri kalau FF buatanku memang
selalu begini. Haha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar