|| Tittle: I’ll
be there ||
|| Author:
Cifcif Rakayzi || Genre: ? || Main cast: Koo Junhoe, Lee Hyein ||
Aku mempercepat
langkahku, berlari secepat yang kubisa. Hanya satu tujuan, dia akan selalu
berada di tempat itu, seperti biasa.
Entah kenapa, bibirku
bergerak sendiri, aku tersenyum. Dia memang ada disana. Gadis itu, jika memang
dia mau kabur, setidaknya pergilah ke tempat yang tidak diketahui orang lain.
Ah bahkan dia takut pergi jauh sendirian. Babo.
Aku berhenti berlari,
hanya melangkah pelan menuju gadis yang duduk di ayunan, tidak jauh dari
hadapanku. Dasar gadis ini! Orang tuanya mencari kemana-mana, dan dia malah
bernyanyi sendiri disana. Merepotkan saja. Menyebalkan.
Dia masih bernyanyi
dengan suara lembutnya, walau mungkin lebih tepatnya dia hanya bersenandung
kecil. Yah, dia hanya bersenandung dengan suara pelannya yang bergetar.
Dan saat jarakku
dengannya hanya tinggal satu langkah lagi, aku baru menyadari kalau itu
bukanlah nyanyian. Dia tidak bersenandung. Dia menangis. Seperti kebiasaannya,
menangis dengan menyanyikan lagu ‘Tiga ekor beruang’. Hanya lagu itu yang akan
dia nyanyikan saat menangis.
“Lee Hyein, kau senang
sendirian disini? Apa kau senang jika membuatku khawatir?”
Aku duduk di ayunan
sebelahnya, mengurungkan niatku untuk memeluknya dari belakang tadi. Saat ini
dia sedang tidak baik.
Aku melihat mata sembab
itu, walaupun dia menyembunyikannya dengan senyuman. Tapi aku sudah lama
bersamanya, aku sudah terlalu mengenalnya. Dia mungkin pintar berbohong, tapi
tidak jika itu padaku.
“Oh mian. Aku
melakukannya lagi ya?”
Jawabnya dengan
senyuman hambar, aku tahu itu dipaksakan. Babo. Dia memalingkan wajahnya
dariku, menyembunyikan sisa air matanya. Dia hanya berayun pelan sekarang.
“Ayahmu mencarimu,
kenapa tidak membawa ponselmu?”
“Ponselku mati,
lagipula aku hanya bermain sebentar disini.”
Mungkin dia memang
benar-benar sedang tidak baik sekarang. Bahkan setelah dia menghilang hampir sembilan
jam, dia masih mengatakan itu sebentar?
“Kenapa tidak
mengajakku? Hyein-ah, apa kau sudah tidak menganggapku lagi eoh?”
“Ah anio, bukan begitu.
Aku hanya sedang ingin sendiri, aku juga tidak mau mengganggumu Jun-ah”
Dia tersenyum lagi
padaku. Sejak kapan dia begitu baik padaku? Selama delapan belas tahun ini,
bukankah tidak ada harinya yang tidak menggangguku?
“Hyein-ah, bagaimana
keadaan Imo?”
Yah, akhirnya aku
mengatakan itu. Menyinggungnya dengan mengikut sertakan wanita yang masih belum
bisa Hyein panggil Eomma. Aku tahu mungkin ini tidak sesuai dengan suasananya,
tapi sudah aku bilang, kebohongannya tidak mempan untukku.
Dia tidak menjawabku.
Hyein hanya membuang nafasnya pelan, menatap langit malam tanpa bintang. Ya!
Kenapa malam ini tidak ada bintang? Bukankah seharusnya bintang bermunculan dan
sedikit menghibur gadis yang bersedih itu?
“Jun-ah...”
“Eoh?”
“Aku tidak tahu kenapa
aku masih tidak bisa menerimanya, seolah aku menantang Tuhan. Aku tidak tahu
kenapa masih tidak bisa menerimanya dengan hatiku, selalu saja aku mencari
kesalahannya untuk membuatku tetap mempertahankan rasa tidak bisa menerimanya...”
“Kau harus terus
mencobanya, Hyein-ah.”
Seperti dugaanku. Hanya
satu masalah yang membuatnya menangis, hanya itu. Dia masih tidak bisa mengerti
dirinya sendiri, hatinya sendiri, dan membuat dirinya sendirian. Memendam semua
itu sendirian.
“Aku selalu mencobanya
Jun, tapi semakin aku mencoba menerimanya, entah kenapa, selalu saja dia
menunjukkan sisi buruknya. Membuatku tetap tidak menerimanya. Aku lelah
Junhoe-ya, aku takut kalau suatu saat nanti, aku akan membuat semuanya
berantakan,”
“Hyein-ah, kau hanya
harus mencoba itu perlahan. Terus mencoba dan mencobanya. Membuat hatimu
terbiasa dengannya, dengan semua sisi buruk dan baiknya”
Dia kembali terdiam.
Kali ini hanya menunduk dan memejamkan matanya. Entah itu menahan air matanya,
atau hanya sedang berfikir. Hanya hembusan angin yang terdengar sekarang, aku
juga memilih diam.
“Jun-ah,”
“Mwo?”
“Apa salah jika aku
merindukannya? Apa aku tidak boleh merindukan Ibuku?”
Suaranya mulai bergetar
lagi, kali ini dia memang menahan air matanya. Dia pasti sedang menahan sesuatu
yang menekan hatinya sekarang.
“Sama sekali tidak”
“Tapi kenapa Appa
selalu mengatakan kalau itu salah? Dia selalu mengatakan kalau Ibuku ada
dihadapanku, bukan seseorang yang sudah berada di surga. Dia melarangku untuk
merindukannya, Jun-ah...”
“Ani, bukan begitu.
Mungkin Ayahmu hanya tidak ingin kau menyakiti Imo karena masih memikirkan
Ibumu,”
“Tapi mau bagaimanapun,
dia tetap Ibuku, Jun! Aku tidak akan pernah bisa melupakan wanita yang sudah
melahirkanku, tidak akan pernah!”
Suara bergetar itu
sedikit berteriak, walaupun penuh penahanan. Dia sudah tidak bisa menahan air
matanya. Dia ingin menangis. Mengeluarkan air matanya, dan sesuatu yang selalu
menekan hatinya.
“Junhoe-ya, aku tidak
bisa menerima wanita itu untuk menggantikan Ibuku. Ibuku akan tetap Ibuku, yang
melahirkanku, dan bukan dia yang tiba-tiba datang dalam kehidupan kami.
Statusnya hanya sebagai istri Ayahku, tapi tidak untuk menjadi Ibu bagiku.”
“Hyein-ah...”
“Kenapa? Apa aku tidak
boleh mengatakannya? Apa aku tidak boleh mengatakan perasaan yang ada dalam
hatiku?”
“Bukan begitu Hyein-ah,
hanya saja kau harus mencobanya perlahan”
“Sampai sekarangpun aku
masih mencobanya, Jun. Tapi aku tidak tahu, bagaimana perasaanku. Apa yang
dirasakan hatiku? Apa perasaanku terhadapnya? Apa aku menyukainya? Apa aku
sebenarnya sudah bisa menerimanya? Jun, aku benar-benar tidak tahu harus
bagaimana dengan perasaanku...”
Akhirnya, dia menangis.
Mengeluarkan air matanya lagi. Mungkin memang dia harus menangis, untuk sedikit
membuat hatinya tenang.
Aku beranjak dari
ayunan itu, melangkah mendekatinya. Berdiri dihadapannya dan mendengar tangisan
itu, tangisannya yang penuh dengan jutaan pertanyaan tentang ‘Apa yang harus
dia lakukan sekarang?’ ‘Bagaimana perasaannya?’
“Apa salah jika aku
tidak bisa melupakan Ibuku dan tidak menerima siapapun yang menganntikannya?
Apa aku salah? Jun, katakan apakah aku salah?”
Aku langsung menarik
tangannya, menariknya kedalam pelukanku saat dia menjerit dengan tangisnya. Aku
memeluknya erat. Aku mungkin tidak benar-benar mengerti bagaimana perasaannya,
tapi aku bisa merasakan kesedihannya.
“Kau tidak salah
Hyein-ah, sama sekali tidak salah. Kau hanya membutuhkan waktu lebih banyak
untuk menerima itu semua, merelakannya perlahan dan menata ulang hatimu”
Hyein benar-benar
menangis. Dia mendekap punggungku, memelukku erat. Menumpahkan tangisannya
dalam pelukanku. Aku bisa merasakan kesepiannya. Kesepian karena dia selalu
membuatnya sendiri, menyembunyikan perasaannya dari orang lain. Membuat semua
orang hanya tahu kalau dia keras kepala, dia menyebalkan, dan dia sangat
menyebalkan. Menipu semua orang dengan sikap diamnya, rapat-rapat
menyembunyikan kesedihan dalam hatinya.
Mungkin sesekali aku
juga menyalahkan Ayahnya, karena tidak pernah bertanya ‘Apakah Hyein baik-baik
saja?’ ‘Apakah Hyein menangis?’ ‘Apakah Hyein tidak apa-apa selalu sendirian?’
‘Apakah Hyein tertawa?’ ‘Apakah Hyein bahagia?’. Aku kadang tidak bisa menahan
kekesalanku pada Ayahnya. Dia terlalu pendiam untuk menanyakan semua itu pada
anaknya.
Tapi tetap saja, aku
tidak bisa lebih jauh untuk ikut campur dalam keluarga mereka. Aku sama sekali
tidak mempunyai hak untuk itu.
Oh ayolah, aku tidak
tahan. Benar-benar tidak tahan. Kenapa Ayahnya selalu terlihat baik-baik saja?
Kenapa dia tidak pernah bertanya pada Hyein? Kenapa dia lebih mementingkan
istrinya daripada Hyein? Kenapa dia harus menikah lagi? Kenapa dia harus
melakukan itu dan seolah membuatnya terlihat jahat pada Hyein?. Aku rasanya
ingin berteriak.
Hyein mungkin tidak
benar-benar membenci Ibu barunya, dia hanya belum bisa menerima itu dengan
sepenuh hatinya. Merelakan Ibu kandungnya pergi, dan menganggap Ibu barunya
seperti Ibu kandungnya. Dia hanya belum terlalu mengerti itu. Hyein hanya
anak-anak yang masih membutuhkan penjelasan dari orang dewasa tentang itu.
Aku yakin, jika dia
berhasil menata ulang hatinya, merasakan perasaannya dengan benar-benar, dia
pasti bisa menerima wanita itu. Hyein bukan seseorang yang jahat.
“Eomma
bogoshippeoyo.... jeongmal bogoshippeo...”
Aku mengusap kepalanya,
dia kembali menjerit dalam tangisannya. Dia berteriak dalam pelukanku.
Sekarang, dia benar-benar merindukan Ibunya. Mungkin juga, waktu terlalu cepat
mengambil Ibunya.
“Menangislah, tidak
apa-apa. Menangislah jika itu akan membuatmu lebih baik, aku akan terus
memelukmu Hyein-ah”
Aku tidak tahu,
benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu harus melakukan apa
padanya, melakukan apa untuknya. Aku hanya bisa berdiri disampingnya,
memeluknya, dan terus bersamanya. Mungkin kehadiranku bisa sedikit membantunya.
Aku akan terus
bersamanya, menemaninya. Membantu Hyein menemukan arti perasaannya, membantu
Hyein untuk benar-benar mengartikan hatinya. Aku akan terus bersamanya sampai
dia menerbangkan masalahnya, aku akan terus menemaninya sampai dia kembali tersenyum,
dan aku akan terus disampingnya sampai dia bisa membuat hatinya menerima semua
ini. Mengisi kesepiannya. Aku tidak akan pernah meninggalkannya.
Sudah aku bilang tadi,
aku terlalu lama bersama gadis babo ini. Aku mengenalnya lebih dari dia
mengenal dirinya sendiri. Dan aku terlalu menyayanginya. Ah tidak, mungkin
hatiku juga mencintainya. Yah, aku mencintai Lee Hyein. Dan aku akan berjanji
untuk tidak pernah meninggalkannya kecuali maut menjemputku.
‘Menangislah Hyein-ah,
keluarkan semua sesak dalam hatimu. Dan setelah itu, kau akan kembali
tersenyum. Kembali menjadi gadis yang bahagia. Aku akan selalu memelukmu.
Saranghae Hyein-ah.”
-Fin-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar