Tittle:
Pink Heartsick
Genre:
Drama, Marriage life, Romance || Rate: 15 || Length: Chapter
Cast:
Koo Junhoe | Park Chaeyoung | Kim Jennie | Lisa | Bobby | other cast
Author:
Cifcif Rakayzi
=======
==== ======= ==== =======
Chapter 5
Cantik. Itu yang semua
orang katakan saat melihatnya. Hampir semua topik pembicaraan, tertuju padanya.
Sang mempelai pengantin perempuan.
Dengan balutan gaun
putih sederhana namun elegan, perempuan itu membuat mata yang memandangnya
mengatakan cantik. Bak seorang putri kerajaan.
Dan juga, tidak hanya
pengantinnya, pernikahan itu juga sukses membuat para tamu undangan terpesona
dengan kemewahannya. Yah, mungkin karena ini adalah hari yang bahagia, jadi
wajar jika mereka menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat baik.
Namun sayangnya, di
balik kebahagian semua orang itu, masih ada bibir yang tidak tersenyum. Rasanya
hambar. Hanya sesekali bibir itu tersenyum tipis, itupun jika keadaan sangat
memaksa. Padahal seharusnya, dia lah yang tersenyum lebih lebar dari semuanya,
karena dia adalah pengantinnya.
“Junhoe-sshi, apa kau
masih belum makan?”
Laki-laki itu diam,
tidak menjawab perempuan yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya. Dia hanya
duduk memainkan ponselnya.
“Setidaknya makanlah
walau sedikit.” Perempuan ini menarik nafas, yang dia ajak bicara masih tidak
menjawabnya. “Aku akan mengambilkan makanan untukmu, tunggu sebentar,”
“Tidak perlu.”
Langkah perempuan itu
tertahan saat Junhoe beranjak dari kursinya, berjalan melewatinya begitu saja.
Dan dia, hanya bisa menatap punggung laki-laki itu diam. Seharian ini, Junhoe
tidak bicara apapun padanya, bahkan juga tidak mendengarkan perkataannya.
Mungkin ini sekarang adalah hari bahagia karena pernikahannya, tapi begitulah
hubungan yang sebenarnya terjadi dengan mereka.
Sejak dia datang,
Junhoe memang tidak banyak bicara padanya. Junhoe tidak pernah bicara jika
tidak ditanya, dan jawabannya pun juga hanya kalimat singkat. Dan itu semakin
buruk setelah tiba-tiba keluarga mereka memutuskan untuk menggelar pernikahan
tanpa persetujuan dari mereka.
Perempuan berambut
hitam panjang bernama Kim Jennie ini mengerti, kalau suaminya tidak benar-benar
menyetujui pernikahan ini. Tapi, baik dia maupun Junhoe, mereka tidak bisa
menolak keputusan keluarganya. Karena itu adalah peraturan.
---
“Junhoe-sshi,”
Koo Junhoe menoleh,
melihat perempuan yang sudah berdiri di belakangnya. “Ada apa?” dan menjawab
singkat, lalu kembali melepar tatapannya pada langit malam di atasnya.
“Boleh aku bicara
denganmu?” Jennie melangkah perlahan, mendekati pagar balkon dan berdiri di
samping Junhoe.
“Bicara saja. Lagipula,
aku tidak punya hak untuk menolak.”
Keduanya diam. Jennie
tidak langsung membuka bibirnya, dia merasa bersalah dengan jawaban Junhoe.
Karena pasti, itu adalah salahnya.
“Kau mau bicara apa?
Kenapa diam?”
“Aku minta maaf,”
“Untuk apa?”
“Aku benar-benar minta
maaf padamu, karena aku membuatmu me-menikah denganku. Maaf karena aku tidak
bisa menolak pernikahan ini. Maafkan ku...”
Suaranya bergetar.
Junhoe melirik perempuan di sampingnya, dia menunduk menyembunyikan air
matanya. Tangan Junhoe bergerak ingin mengucapnya, tapi dengan cepat dia
kembali menarik tangannya, hanya diam.
“Maafkan aku...”
“Tidak usah minta maaf,
karena aku juga tidak bisa melakukan apapun untuk itu. Jangan menangis.”
“Mungkin seharusnya aku
tetap di New Zeland dan tidak mengunjungimu wa_”
“Ya! Hentikan!” Junhoe
menarik perempuan itu ke hadapannya, menatapnya. “Aku bilang tidak apa-apa,
berhenti menyalahkan dirimu. Sekarang pernikahannya sudah terjadi, kau tidak
bisa menyesali itu.”
“Ta-tapi Junhoe-sshi,
pernikahannya tidak akan terjadi jika aku tidak_”
“Sudah cukup, hentikan.
Kita sudah menikah sekarang, tidak akan ada yang berubah walaupun kau menangis
dan mengatakan maaf, ini sudah terjadi. Atau, kau ingin aku pergi?”
“Junhoe...” Jennie
mengangkat wajahnya, memberanikan matanya menatap laki-laki itu. Air matanya
tidak bisa di tahan, dan rasanya itu semakin banyak keluar. Kenapa ini rasanya
menyakitkan.
“Baiklah, jika itu yang
kau inginkan. Aku akan pergi.” Junhoe melepaskan tangannya dari perempuan itu,
berbalik dan melangkah.
“Tidak Junhoe, jangan
pergi...” dengan cepat Jennie menarik tangan Junhoe, menahan laki-laki itu
melanjutkan langkahnya. “Jangan pergi, aku mohon... maafkan aku.”
‘Kalau begitu berhenti
mengatakan maaf padaku, aku tidak ingin mendengarmu_”
“Hey akhirnya... kalian
berdua,” seseorang datang menghampiri mereka, dengan nafas terengah. “Aku
mencari kalian kemana-mana, ternyata malah bermesraan disini,”
“Ada apa?” Junhoe
melepaskan genggaman Jennie dari tangannya, membuat perempuan itu melangkah
mundur sedikit menjauhinya.
“Semua orang mencari
pengantinnya, sekarang waktunya berfoto. Pestanya sebentar lagi selesai, jadi
lanjutkan saja urusan kalian itu di kamar nanti.”
“Kami tidak melakukan
apapun.” Junhoe pergi mendahului mereka berdua.
“Aish jinjja. Anak itu
dari dulu tidak berubah. Hey Jennie-ya, apa dia... hey apa kau menangis?”
laki-laki itu mendekati Jennie, mendekatkan matanya melihat Jennie.
“Tidak, aku tidak
menangis.”
“Bohong. Apa dia yang
membuatmu menangis? Junhoe memarahimu?”
“Tidak, aku tidak
apa-apa. Tadi Junhoe hanya membicarakan pernikahannya, dan itu membuatku sedih.
Tapi aku tidak apa-apa,”
“Ah... rupanya kau
terharu karena akhirnya menikah dengan anak nakal itu?” dia tersenyum, mengusap
kepala Jennie. “Yah... rasanya aku juga tidak percaya kau menikah. Kupikir dia
hanya anak kecil, tapi sekarang Junhoe sudah dewasa dan menjadi suamimu. Rasanya,
kalian berdua tetap anak kecil di mataku.”
“Samcheon, aku sudah
besar. Berhenti menyebutku anak-anak.”
“Baiklah, sekarang kau
sudah menjadi istri dari Koo Junhoe, aku tidak akan menyebutmu anak-anak lagi.
Sekarang ayo cepat kembali, kau harus berfoto dengan semuanya.” laki-laki
setengah baya yang Jennie panggil Samcheon itu, menggandeng tangannya, kembali
menuju ruangan itu.
Sebentar lagi pesta
pernikahan ini selesai. Setidaknya, itu akan lebih baik.
***
Koo Junhoe mengedarkan
pandangannya menatap ballroom hotel itu sekali lagi, berharap matanya bisa
melihat sosok itu, dan sayangnya itu mustahil. Yah.. sepertinya otaknya sudah
rusak, bagaimana dia bisa berfikir kalau kekasihnya datang ke pernikahannya.
Mustahil.
Junhoe menghela nafas,
lalu melangkah pergi meninggalkan ballroom. Pesta pernikahannya sudah selesai,
tapi disana ada beberapa tamu undangan yang masih berbincang dengan
keluarganya, mungkin hanya sekedar untuk membuat kesan baik. Junhoe tidak
peduli.
“Junhoe-sshi
tunggu....”
Tanpa perintah, tangan
laki-laki itu menahan pintu liftnya, menunggu perempuan yang setengah berteriak
minta di tunggu. Tanpa kata, Junhoe membiarkan Jennie masuk ke dalam lift,
berdua bersamanya.
Pintu lift sudah
tertutup, lift perlahan naik. Malam ini, karena pernikahan itu, mereka tidur di
hotel ini. Sebelum besok mereka berangkat ke Nepal untuk bulan madu. Itu sudah
keputusannya, mereka tidak bisa menolak.
Sampai lift berhenti
dan pintunya terbuka, masih tidak ada kata yang terucap dari Junhoe ataupun
Jennie. Rasa canggung itu terlalu menekan untuk salah satu dari mereka membuka
suara, dan akhirnya diam yang dipiih.
Junhoe melangkah keluar
lift lebih dulu, kemudian Jennie. Langkah perempuan itu terbatas, karena gaun
yang menyapu lantai itu sedikit berat dan merepotkan, ditambah sepatu tingginya
yang sudah dia pakai berdiri berjam-jam tadi. Langkah mereka berdua jauh,
Junhoe masih berjalan sendiri di depan.
“Ini menyebalkan...”
Jennie berhenti melangkah, mengangkat bagian bawah gaunnya dan melepas sepatu
hak tinggi itu. Dia bergumam kecil, mengucap sumpah serapah untuk seseorang
yang menciptakan sepatu dengan hak tinggi ini.
“Ada apa?”
“Huh?” Jennie
mengangkat wajahnya melihat Junhoe. Laki-laki itu menghentikan langkahnya dan
menatapnya sekarang. “Tidak apa-apa.” Jennie mengeluarkan senyum kecilnya, dan
menggeleng.
“Lalu, kenapa sepatunya
dilepas?”
“Ah.. ini sedikit..
kaki pegal memakainya dari tadi. Tapi tidak apa-apa, aku masih bisa berjalan
dengan in_” Jennie langsung memotong ucapannya, menahan nafasnya dan menatap laki-laki
jangkung itu. Junhoe tiba-tiba mendekat dan menggendongnya.
“Kakimu lecet. Itu
rasanya perih kan, jika berjalan,”
“Ta-tapi aku... tidak
apa-apa, kau tidak usah melakukan ini Junhoe-sshi. Rasanya sedikit... memalukan
kalau di lihat orang,”
“Tidak ada yang
melihat. Ambil sepatumu.” Junhoe berjongkok, melempar tatapan pada sepatu
Jennie. Dan karena itu, apa boleh buat, jika Junhoe sudah menggendongnya,
Jennie hanya tinggal diam dan menunggu sampai dia menurunkannya lagi. Perempuan
itu mengambil sepatunya, lalu Junhoe kembali berdiri dan berjalan.
Aromanya. Jennie bisa
mencium aroma tubuh Junhoe, bahkan dari jarak sedekat itu dia juga bisa
mendengar hela nafas laki-laki itu. Ini memang rasanya memalukan, tapi juga
menyenangkan. Jennie memejamkan matanya erat, menahan debar jantungnya yang
bertambah cepat. Bersama Junhoe dalam jarak sedekat ini, membuatnya gugup.
“Apa lukanya
benar-benar perih?”
“Huh?” Jennie
mengangkat wajahnya menatap Junhoe, tatapan laki-laki itu memang lurus ke
depan, tapi rasanya dia juga menatapnya. “A-ah tidak... lukanya hanya sedikit
perih.”
“Kukira kau menutup
mata karena benar-benar perih.”
“Aku bilang tidak
apa-apa.”
Junhoe tidak menjawab
lagi. Dan beberapa detik kemudian, dia berhenti berjalan, menurunkan Jennie di
depan pintu kamar mereka. “Kau bisa berjalan?” Junhoe membuka pintunya.
“Yah, aku bisa berjalan
sendiri. Terima kasih.”
“Aku pergi sebentar,
kau masuklah dulu.” tanpa masuk ke dalam kamar, Junhoe langsung pergi
meninggalkan Jennie yang masih di depan pintu kamar itu.
“Gomawo Juni.” Jennie
tersenyum, menatap punggung Junhoe yang menjauh. Lalu menjinjing sepatunya dan
berjalan masuk ke dalam kamar.
---
“Oh! Mengagetkan...”
Jennie melangkah mundur dan bersandar pada pintu kamar mandi, melihat Junhoe
yang tiba-tiba sudah berdiri menatapnya.
“Duduklah, obati
lukamu,” Junhoe menarik tangan Jennie dan mendudukkannya di ranjang, membuka
kotak kecil obat kecil di tangannya. “Akan sedikit perih, tahanlah.”
“Iya, tidka apa-apa.”
Junhoe mengoleskan
salep pada lukanya, lalu memasang plester. Dia melakukannya dengan hati-hati
dan perlahan, membuat Jennie menahan senyum melihatnya. Laki-laki itu tidak
berubah.
“Ah..”
“Sakit? Maaf,”
“Tidak apa-apa. Aku
sudah menahan perihnya sejak mandi tadi,”
“Sudah, selesai. Jangan
terluka lagi, perempuan tidak_”
“Perempuan tidak cantik
jika punya bekas luka...”
Junhoe menatap Jennie,
perempuan itu memotong ucapannya. “Aku tahu, kau sudah sering mengatakannya.”
Jennie hanya tertawa melihatnya.
“Ehm... baiklah kalau
tidak apa-apa, aku mau mandi.” Junhoe beranjak dan masuk ke dalam kamar mandi.
Tatapan mereka bertemu tadi, dan itu pertama kalinya.
“Terima kasih,
Junhoe-sshi.”
Junhoe menutup pintu
kamar mandinya, tanpa menjawab Jennie. Dan perempuan itu kembali tersenyum,
melihat plester bergambar Pororo di kakinya.
***
Mendengar suara langkah
kaki, Jennie melirik ke belakang, melihat Junhoe berdiri beberapa langkah
darinya. “Bintangnya banyak, meski ini bukan musim panas. Indahnya...” Jennie
kembali mengalihkan tatapannya pada langit malam dengan rombongan bintang.
Junhoe tidak melihat
langitnya, ataupun bintangnya, dia hanya melihat perempuan yang berdiri di
belakang pagar balkon itu. Perasaannya tidak bisa dia artikan, dia memikirkan
dua perempuan dalam kepalanya sekarang.
“Aku... akan pergi,”
Senyuman di bibir
Jennie menyusut, dia menarik tatapannya pada Junhoe. Laki-laki itu menghindari
tatapannya. “Iya, silahkan,” dengan cepat, senyuman itu kembali melengkung di
bibirnya. “Aku tidak akan melarangmu pergi kemanapun.”
Junhoe diam. Dia merasa
dirinya lebih rendah dari seorang pengecut. “Maaf, aku... tidak bisa melakukan
apapun.”
“Tidak apa-apa.
Lagipula, tidak harus selalu ada yang di lakukan. Pergilah.” Jennie berbalik,
kembali memandang bintang. Ini malam pernikahannya, tapi dia membiarkan
suaminya pergi dengan senyuman. Tidak apa-apa.
Suaranya terdengar,
pintu yang dibuka dan di tutup kembali. Jennie melangkah melihatnya, menatap
pintu kayu itu. Koo Junhoe sudah pergi. Tidak apa-apa. Dia mengerti. Karena ini
adalah salahnya. Pernikahan ini adalah kesalahannya. Dan juga dia tidak harus
memaksa Junhoe menerimanya sebagai isteri.
***
Jennie membuka mata,
ponselnya berdering seolah bergema di ruangan itu. Tangannya bergerat meraih
ponsel itu, tapi kemudian deringnya berhenti. Dia tidak sempat menerima panggilan
masuk ke ponselnya.
“Ah.. Appa selalu tidak
sabaran...” Jennie memaksakan diri untuk bangun, membuka kedua matanya lebih
lebar. Sudah banyak panggilan yang masuk ke ponselnya, dan itu hanya dari
Ayahnya. Pasti orang tua itu hanya ingin memastikan kalau mereka tidak
ketinggalan pesawat pagi ini.
Jennie melirik pintu
kamar mandi, dia mendengar suara gemercik air. Seseorang sedang mandi di dalam
sana. Lalu tatapannya beralih pada bantal di sampingnya, tapi itu masih rapi
seperti semalam. Seseorang yang sedang mandi itu pasti tidak tidur disana
semalam.
“Sudah bangun?”
Jennie tersentak, lalu
dengan cepat melempar tatapannya pada Junhoe yang berdiri di depan kamar mandi.
Laki-laki itu hanya terbalut handuk dari pinggang sampai lututnya, dan rasanya
itu memalukan. Jennie langsung memalingkan wajahnya. “I-iya, aku baru bangun.”
“Pesawatnya berangkat
satu jam lagi, masih banyak waktu. Kita
bisa berangkat setelah sarapan.”
“Iya. Ka-kalau begitu
aku akan mandi dan bersiap.” Jennie masih menghindarkan matanya dari Junhoe,
dia tidak mau melihat tubuh setengah telanjang suaminya. Itu memalukan rasanya.
Yah, rasa canggung itu
sudah mengalihkannya. Membuatnya tidak peduli untuk bertanya dimana suaminya
tidur semalam, atau bersama siapa suaminya semalam. Rasanya itu tidak bisa dia
tanyakan, karena huungan mereka terlalu canggung untuk menjadi sehangat
hubungan pasangan pengantin lain.
***
Gemuruh suara
orang-orang sudah tidak aneh lagi disini, banyak orang berlalu-lalang berjalan
menuju tujuannya. Benar-benar ramai, seperti biasanya tempat umum. Dan ini
salah satunya tempat umum dengan banyak orang, bandara.
Karena tidak bisa
menolak, mereka harus pergi bulan madu. Walau nantinya tidak tahu apa yang
harus di lakukan disana, mengingat hubungan mereka rasanya tidak bisa dikatakan
untuk berbulan madu.
Tapi masalah itu tidak
di pikirkan, sekarang banyak hal lain yang sedang dipikirkan peremempuan
berambut panjang ini. Dia melirik lagi ke samping kirinya, melihat Junhoe yang
masih sibuk dengan ponselnya. Sepertinya laki-laki dengan suara berat itu
sedang menghubungi seseorang, tapi masih tidak terhubung. Dan mungkin, Jennie
tahu siapa yang Junhoe coba hubungi.
“Junhoe-sshi, kau tidak
apa-apa? Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu_”
“Aku tidak apa-apa.”
“Baiklah.” Jennie melepas
tatapannya dari Junhoe. Laki-laki itu sepertinya memang sedang tidak baik. Dia
tidak bicara jika tidak ditanya, dan sekalipun bersuara, hanya mengucapkan satu
atau dua kata. Junhoe terus bersama ponselnya.
Pesawat tujuan Nepal
akan berangkat sepuluh menit lagi. Tapi rasanya, ini sangat berbeda.
“Junhoe-sshi, bisa aku
bicara sebentar?”
“Ada apa? Kau melupakan
sesuatu?”
Jennie tersenyum, lalu
menggeleng. Junhoe memang sedang tidak baik. “Aku tidak apa-apa, juga tidak ada
yang tertinggal. Tapi ini tentangmu,”
“Aku? Oh apa aku
meninggalkan pasportku?” Junhoe langsung memeriksa saku jaketnya.
“Bukan,”
“Lalu apa?” Junhoe
menahan paniknya, menatap Jennie.
“Pergilah. Temui orang
yang kau ingin temui, kau tidak usah pergi ke Nepal bersamaku. Jadi pergilah.”
“Apa maksudmu? Tapi
pesawat akan berangkat sek_”
“Aku tahu, tapi hanya
aku yang berangkat. Kau pergilah.”
“Kenapa? Bukankah kita
harus pergi ke Nepal untuk_”
“Tidak. Memangnya untuk
apa kita pergi ke sana berdua jika tidak ada yang akan kita lakukan? Jadi lupakan
saja, dan pergilah menemuinya. Bukankah kau ingin menemuinya?”
“Sebenarnya apa yang
kau bicarakan?”
Jennie menarik nafasnya
dalam, memasang senyum lebih cerah di wajahnya. Dia menatap Junhoe, mencoba
meyakinkannya kalau yang akan dia ucapkan adalah benar. Ini memang menyakitkan,
tapi ini adalah hukuman untuk kesalahannya. Karena sudah merebut seseorang.
“Junhoe-sshi, maaf.
Sebenarnya aku sudah bicara dengan Appa dan orang tuamu, sebelum pernikahan.
Dan mereka menerimanya. Jadi, menikahlah juga dengannya,”
“Apa?” Junhoe
menajamkan tatapannya, seolah mencari kebenaran dari tatapan Jennie.
“Me-menikah? Apa kau sudah gila?”
“Aku tidak gila, tapi
kau yang jadi gila karenanya. Jadi menikahlah lagi, dengannya, Junhoe-sshi. Kau
harus menikah dengan kekasihmu.”
“Kim Jennie! Berhenti
bercanda, pesawatnya akan berangkat sebentar lagi_”
“Aku sama sekali tidak
bercanda, aku sungguh-sungguh. Dan juga keluargamu menyetujuinya, mereka
mengizinkanmu menikah lagi dengannya. Jadi pergilah, tidak apa-apa.” Jennie
masih mempertahankan senyumannya, meyakinkan Junhoe.
“Tidak, ini sama sekali
tidak lucu. Berhenti me_”
“Junhoe-sshi, kau
sangat mencintainya kan? Dan pernikahan kita adalah kesalahanku, jadi biarkan
aku setidaknya menebus itu padamu dengan ini. Kau menikah lagi dengannya.”
Koo Junhoe terdiam,
berusaha mencerna semua perkataan itu dengan baik dalam kepalanya. Dia tidak
percaya dengan dua telinganya, dia tidak percaya dengan Jennie, tapi itu nyata
dia dengar. Juga, dia mencintai kekasihnya, Park Chaeyoung yang dia tinggalkan
karena pernikahan ini. Tapi, apa ini benar? Apa pernikahan dengan Chaeyoung
adalah benar? Atau salah? Junhoe lebih rendah dari sampah.
“Maaf... maafkan aku,
karena membuatmu dalam cerita seperti ini, aku minta maaf. Aku hanya ingin kau
bersama orang yang kau cintai, walaupun aku tidak bisa membuatmu lepas dariku.
Jadi menikahlah dengannya, tidak apa-apa,”
“Be-benarkah?”
“Tentu saja, ini
benar,” Jennie melangkah lebih dekat ke hadapan Junhoe, mengusap pipinya
menghapus air mata yang akan jatuh menetes. Dia menahan senyumannya lebih lama,
agar air matanya tidak ikut jatuh. “Setidaknya, kau akan lebih baik jika
bersama orang yang kau cintai. Maafkan aku... maafkan aku...”
“Tidak, seharusnya aku
yang berkata maaf. Pernikahan ini bukan salahmu, dan jika pernikahan keduaku
itu terjadi, jangan katakan itu adalah penebus dosamu, tapi itu adalah luka
yang aku berikan padamu. Maafkan aku... maaf....” Junhoe menarik Jennie ke
dalam pelukannya.
“Junhoe-sshi...”
“Terima kasih, Noona.”
Saat pelukan itu
terlepas, senyuman terlihat di bibirnya, membuat Jennie tidak bisa lagi menahan
air matanya lagi. Dia menangis karena senyuman Junhoe. Rasanya sangat
menyakitkan, tapi juga melegakan. Dia membiarkan suaminya menikah lagi. Dan itu
hukuman karena merebutnya dari orang lain.
Junhoe pergi. Dia
berlari pergi meningalkannya.
“Tidak apa-apa....”
Jennie menepuk-nepuk dadanya, mencoba menghilangkan rasa sakit itu, rasa sesak
itu. Dia menghapus air matanya, berbalik dan kembali menarik kopernya berjalan.
Pesawatnya akan berangkat. Dan akhirnya, ini hanya cerita bulan madu tanpa sang
pengantin laki-laki.
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar